A. Pendahuluan
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang
merupakan agama yang tertua yang dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan
dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang
proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan
kebudayaan yang sangat kompleks di bidang astronomi, ilmu pertanian,
filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan
pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli di bidang agama dan ilmu lainnya yang
telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran
dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para ahli untuk menetapkan
kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi
penyebarannya belum banyak dimengerti.
Agama Hindu berasal dari pencampuran bangsa Arya dan bangsa
Dravida, dalam agama Hindu terdapat beberapa dewa-dewa yang dianggap penting
bagi pemeluknya. Banyak praktek-praktek keagamaan di dalam agama Hindu yang
bertujuan untuk menghormati para dewa. Agama Hindu juga mempunyai system
kepercayaan bagi para pemeluknya.
B.
Periodisasi Sejarah Agama Hindu
Agama
Weda
Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, didalam mendekati dan
menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam.
Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam.
Zaman Weda, merupakan zaman sejak masuknya bangsa Arya di Punjab hingga
timbulnya agama Budhha pada kira-kira tahun 500 SM. Zaman ini dapat dibagi lagi
menurut pertumbuhan kitab-kitab yang menjadi sumber hidup keagamaan pada zaman
ini, menjadi :
a. Zaman Weda purba atau zaman Weda
Samhita, dimulai dari tahun 1500 SM hingga kira-kira tahun 1000 SM. Pada zaman
ini bangsa Arya massih berada di Punyab, yaitu daerah Sungai Indus atau Sindhu.
Di sini belum banyak terdapat penyesuaian diri dengan peradaban India purba.
b. Zaman Brahmana, kira-kira tahun 1000 SM hingga kira-kira
tahun 750 SM. Pada zaman ini para imam, yaitu para Brahmana, sangat berkuasa
dan menimbulkan kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya dibandingkan dengan
kitab-kitab Weda Samhita. Sekarang penyesuaian diri dengan peradaban India
purba sudah lebih maju, sehingga timbul jiwa baru.
c. Zaman Upanisad, tahun 750 SM hingga
tahun 500 SM. Pada zaman ini pemikiran secara falsafah mulai berkembang. Pusat
peradaban berpindah dari Punyab ke Lembah Gangga.
Pada zaman ini kehidupan keagamaan
orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Samhita, yang berarti
perkumpulan Weda.
Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). Menurut tradisi
Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan
oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta dalam bentuk mantra-mantra,
yang kemudian disusun sebagaian puji-pujian oleh para resi tadi sebagai
pernyataan rasa hatinya.
Unsure-unsur
dasar agama Weda :
1. Percaya dan takut kepada daya-daya
kekuasaan
2. Ritus untuk mempengaruhi daya-daya
kekuasaan
3. Kesadaran akan adanya tata tertib
kosmos
4. Kecenderungan kepada mistik
Sejak zaman dahulu orang memberi penghargaan yang istimewa
terhadap pengasingan diri untuk bermeditasi (bersemadi). Pengetahuan yang
didapat orang dari meditasi, dianggap sesuatu yang lebih tinggi dari pada
pengetahuan yang dicapai dengan akal. “Meleburkan diri dalam daya-daya
kekuasaan dan menjadi satu dengan daya-daya kekuasaan tersebut” diusahakan
dengan bermacam-macam cara. Maka disebutlah “orang yang tajam tiliknya para
rsi, yang dengan jalan demikian dapat mengetahui rahasia-rahasia Dunia, hidup,
dan rahasia-rahasia ritus persembahan.[1]
Sebagai wahyu dewa yang tertinggi, maka Weda-weda itu
disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa yang didengar, yaitu didengar
dewa yang tertinggi. Orang Hindu yakin, bahwa Kitab-kitab Weda adalah napas
Tuhan, kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan kepada
para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar kebenaran itu. Bentuk yang diwahyukan
tadi adalah mantra-mantra.
Sesudah
dibukukan, mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita),
yaitu :
a. Rg-Weda, berasal dari kata “Rig”
yang berarti memuji kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para Dewa dalam
bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi lagi dalam
beberapa bait . Rg-Weda berisi mantra-mantra dalam bentuk puji-pujian, yang
digunakan untuk mengundang para dewa, agar berkenan hadir pada upacara-upacara
kurban yang akan diadakan bagi mereka. Imam-imam atau pendeta yang mengadakan
puji-pujian ini disebut Hort.
b. Sama-Weda, hampir seluruh isinya
diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Rg-Weda
ialah puji-pujian di sini diberi lagu (Sama = lagu).imam atau pendeta yang menyanyikan
Sama-Weda disebut Udgatr. Menyanyikannya pada waktu kurban
dipersembahkan.
c. Yajur-Weda, berisi yajus atau rapal,
diucapkan oleh imam atau pendeta yang disebut Aswarya, yaitu pada saat
ia melaksanakan upacara kurban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja para
dewa, melainkan untuk mengubah kurban-kurban menjadi makanan dewa. Dengan
perantara rapal-rapal itu kurban serta bahan-bahan yang dikurbankan dengan para
dewa, dengan maksud supaya kurban tadi dapat diterima. Dapat dikatakan bahwa
denagn rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipakai untuk memenuhi keinginan
yang berkurban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa,
dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.
d. Atharwa-Weda, berisi mantra-mantra
sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan hidup keagamaan yang rendah,
seperti tampak di dalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi dimaksudkan
untuk menyembuhan orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan musuh dan
sebagainya. Upacaranya bukan diadakan untuk kurban, melainkan diadakan di
rumah.
Mula-mula kitab ini tidak diakui sebagai Kitab Suci, namun
lama-kelamaan diakui juga, sebab kepercayaan rakyat terhadap kitab ini sangat
kuat. Selain itu banyak raja yang mengambil pendeta-pendeta dari golongan ini
sebagai pendeta pribadinya.[2]
Dengan ringkas kita melihat di dalam agama Weda hal-hal
seperti berikut :
a. Agama Weda tidak dapat di pahami
selain sebagai reaksi manusia terhadap pernyataan Allah, baik terhadap
pernyataan di dalam karya Allah, maupun di dalam syariat hukum taurat yang
tertulis di dalam hati manusia (Rm 1 dan 2). Tetapi itupun suatu reaksi, di
mana kelainan manusia berusaha untuk menindas kebenaran. Agama Weda adalah
suatu daya upaya manusia yang jatuh ke dalam dosa untuk menghindarkan diri dari
hukum Allah.
b. Di dalam agama Weda orang berdaya
upaya untuk mendekati dewa-dewa melalui dua jalan : physis dan etis. Melalui
garis physis yang ditentukan oleh pertentangan Indra – Vrta, dewa – sura, Arya
– Dashu, kosmos – chaos. Dan orang berusaha juga mendekati dewa melalui garis
rtik, yang ditetapkan oleh pertentangan : Waruna, penjaga “rta” – dosa manusia.
Kedua aspek dewa itu tidak dilihat sebagai satu hal, tetapi keduanya selalu
berlawanan. Indra dan Waruna berperang mati-matian. Dalam peperangan itu Indra
menang, artinya bahwa garis etik harus kalah di dalam agama Weda.
c. Kebimbangan terhadap pertanyaan
haruskah dewa dipandang sebagai pribadi ataukah sebagai suatu daya kekuatan,
tetap ada selama masa itu.
d. Oleh karena Waruna terdesak ke
samping agama Weda makin menggeser de dalam suasana egoisme. Agama menjadi
suatu daya upaya untuk merebut daya-daya kekuatan yang tersimpan di dalam
kosmos dengan persembahan dan mantera dan menggunakan daya-daya itu untuk
kepentingan-kepentingan egoistis.
e. Perkembangan agama Weda berlangsung
melalui dua garis. Yang pertama adalah garis spekulasi falsafi (renunagan
falsafi). Timbullah skeptisisme (kesangsian) terhadap dewa-dewa yang lama dan
orang berbalik kepada suatu zzat ilahi yang universal dan mujarad (abstrak)
sebagai zat segala zat. Inilah garis pantheistis (pantheisme ialah ajaran bahwa
segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan) yang terutama kelihatan jelas di
dalam berkas kesepuluh dari reg-Weda. Garis yang kedua ialah garis dekadensi
(kemunduran) kepada magi. Tiap-tiap perbuatan persembahan dianggap sebagai
berkekuatan magis. Orang brahmana menjadi ahli sihir. Hal ini terutama ternyata
didalam ajur weda dan di dalam antharwa-weda.
f. Dipandang dari sudut kepercayaan
kita, maka kita hanya dapat mengkonstatir bahea di dalam agama weda manusia
melarikan diri dari kekudusan Tuhan, manusia menundukan kemuliaan tuhan ke alam
insani.Tuhan di samakan atau diidentifikasikan dengan daya kekuatan yang
tinggal di dalam makhluk, atau di buat kabur menjadi suatu pengertian
falsafi. Dengan demikian ia dilukiskan sebagai dzat yang terdalam, inti
segala yang ada.[3]
g. Di dalam agama hindu ada beberapa
pengertian yang kaitannya dengan kepercayaan, yaitu pengertian tentang Rta.
Yang dimaksud dengan pengertian Rta artinya ‘pergi’ kemudian berubah dalam arti
tata- tertib’. Di dalam kitab Weda kata Rta berarti tata tertin alam kosmos,
yang dianggap sebagai pencerminan dari adanya daya kekuatan dan daya kekuasaan
yang menciptakan dan mengaturnya. Kita lihat peredaran tata-surya, matahari,
bulan dan bintang yang tetap teratur. Hal ini berlaku tertin karena ditetapkan
dan diatur oleh Dewa Waruna, yaitu Dewa yang tertinggi, Yang Maha
Pencipta, dalam hal ini disebut Rtawan.
Oleh karena manusia adalah bagian dari alam semesta, maka
manusia harus juga tunduk kepada Rta. Dengan ia tunduk kepada Rta maka manusia
akan mencapai kehidupan yang harmonis, baik sesame manusia, baik dengan alam
lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi apabila manusia mengikuti Rta,
maka apa yang dirasakan, didengar dan dilihat akan di tanggapi sebagai sesuatu
yang indah manis dan nikmat. Bagi umat Hindu Rta terserap dalam Satya (kebenaran) bersama dengan Dharma sehingga merupakan
suatu keyakinan yang penting. Oleh karena Rta adalah pencerminan dari daya
kekuatan dan daya kekutan itu adalah Dewa Waruna, maka keberlangsungannya harus
dijaga. Untuk itu perlu adanya ritus, dan dengan dilaksanakannya ritus maka Rta
akan tetapn berjalan dengan tertib dan teratur. Oleh karenannya manusia
janganlah berbuat dosa, karena berbuat dosa berarti melanggar Rta dan berarti
menentang kekuasaan Tuhan.[4]
1.
Dewa-Dewa
Dewa dalam Hinduisme membuat agama ini menjadi agama yang
penuh dengan keindahan.[5]
Di dalam kitab Weda Samhita terdapat dua golongan yang kedudukannya lebih
tinggi dari manusia yaitu : Dewa-dewa pemurah terhadap manusia dan menerima
pujaan manusia, dan para roh jahat yang memusuhi manusia.
Kitab Rg-Weda menyebutkan adanya 33 dewata, yang dapat dibeda-bedakan atas dewa-dewa
langit, dewa-dewa angkasa, dan dewa-dewa bumi.
- Agni (Dewa api)
- Aswin kembar (Dewa pengobatan, putera Dewa Surya)
- Brahma (Dewa pencipta, Dewa pengetahuan, dan kebijaksanaan)
- Chandra (Dewa bulan)
- Durgha (Dewi pelebur, istri Dewa Siva)
- Ganesha (Dewa pengetahuan, Dewa kebijaksanaan, putera Dewa Siva)
- Indra (Dewa hujan, Dewa perang, raja surga)
- Kuwera / Kubera (Dewa kekayaan)
- Laksmi (Dewi kemakmuran, Dewi kesuburan, istri Dewa Visnu)
- Saraswati (Dewi pengetahuan, istri Dewa Brahmā)
- Shiwa (Dewa pelebur)
- Sri (Dewi pangan)
- Surya (Dewa matahari)
- Waruna (Dewa air, Dewa laut dan samudra)
- Wayu / Bayu (Dewa angin)
- Wisnu (Dewa pemelihara, Dewa air)
- Rudra (Dewa badai)
- Dhara (Dewa Bumi)
- Anala (Dewa Api)
- Anila (Dewa angin)
- Dhruva (Dewa bintang kutub)
- Soma (bulan)
- Prabhasa (Dewa fajar)
- Pratyusa (Dewa sinar)
- Dattatreya
- Savitr
- Yama (Dewa kematian)
- Satya (Dewa kebenaran)
- Kratu (Kehendak)
- Daksa (Dewa keterampilan)
- Kala (Waktu)
- Kama (Keinginan)
- Dhrti (Dewa kesabaran)
- Pururavas (Dewa atmosfir)
- Madravas (Dewa kegembiraan)
Vasu merupakan sekelompok Devata yang
jumlahnya delapan, terutama dikenal sebagai pengiring Indra. Kata Vasu diambil
dari akar kata ‘vas’ (bertempat tingal, menyebabkan bertempat tinggal,
bersinar) sehingga vasu merupakan devata yang menyatakan segala wilayah luas
atau ruang dan ketinggian.
Delapan vasu tersebut adalah : Dhara, Anala,
Ap, Anila, Anala, Dhruva, Soma, Prabhasa, Pratyusa.
Karena karya Waruna inilah maka langit dan
bumi dipisahkan, pelajaran matahari, bulan, dan bintang teratur, sungai-sungai
mengalir dengan baik, musim-musim datang pada waktunya dan sebagainya. Selain
itu Rta juga dipandang sebagai tata tertib susila. Sebagai pengawas rta, Waruna
juga memberikan hadiah atau pahala kepada yang baik dan menghukum kepada
yang jahat. Orang yang baik ialah orang yang mengikuti hukum Rta. [6]
Dewa yang lain ialah Surya, yang digambarkan sedang berkereta ditarik oleh 7 ekor
kuda. Dewa ini dapat memperpanjang hidup, mengusir penyakit dan sebagainya.
Dewa Wisnu juga termasuk dewa langit, tetapi pada zaman ini belum memegang
peranan yang penting. Tentang dewa ini hanya disebutkan, bahwa ia melangkahkan
tiga langkah. Langkah yang ketiga itulah langkah yang tertinggi. Itulah sorga
tempat kediaman para dewa-dewa.
Yang termasuk dewa-dewa angkasa di antaranya adalah Indra, yang merupakan dewa
terpenting. Seperempat kidung dalam Rg-Weda ditujukan kepadanya. Indra adalah
Raja para dewa ia adalah dewa hujan yang bersenjatakan petir, dewa langit
pengumpul awan dan dewa kemenangan. Ia juga bernama Surapati (sebagai
raja para dewa), Vrtahan (sebagai dewa hujan yang membunuh naga Vrta
yang menyembunyikan air dalam gua selam musim kemarau). Indra sering diletuskan
secara antropomorfis : mempunyai tubuh, tangan, kaki, bibir, rahang, dan
jenggot. Indra diyakini sebagai dewa yang selalu melepaskan air yang member
hidup yang kemudian mengalir kesamudra dan dalam perjalanannya selalu
memperkaya dan mempersubur bumi.
Setelah Indra dewa yang terpenting adalah Agni yang dianggap sebagai
perantara dewa dan manusia. Dewa inilah yang meneruskan puji-pujian dan kurban
bakar kepada para dewa yang dimaksud, Agni pula yang mendatangkan para
dewa ketempat-tempat sesaji dengan bunyi-bunyian dalam arti. Setiap rumah orang
Hindu biasanya mempunyai tiga macam api yaitu : untuk upacara harian (agnihotra)
dan sampai saat ini masih terdapat dikalangan keluarga Pandit yang ortodoks
; api untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan
purnama dan api untuk upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur.
Mengenai upacara-upacara masih ada lagi upacara yang dilakukan empat bulan
sekali upacara lainnya adalah upacara pengangkatan Altar api yang disebut
dengan Agnicayana, biasanya dilakukan menggunakan sebongkah batu yang
berbentuk seekor burung.[7]
Selanjutnya dewa yang terpenting setelah agni adalah Soma, dewa
minuman keras, yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut Soma
pula. Soma adalah minuman para dewa. Dalam upacara korban Soma dituangkan
sebagai persembahan kepada para dewa. Hal yang agak aneh ialah rasa hormat yang
luar biasa bukannya ditujukan kepada objek kritus itu sendiri tetapi hanya
kepada kekuatan Soma itu saja. Cairan sari tanaman Soma sangan memabukkan dan
digunakan untuk memperdaya dewa, orang-orang yang memujanya meminum cairan ini.
Karena minuman ini sangat memabukkan maka tentu akan mempegaruhi pandangan
orang yang terlibat dalam upacara. Dalam berkembangan selanjuttnya Soma bukan
hanya disamakan sebagai kekuatan saja, tetapi kemudian menjadi personifikasi
dari bulan yang selanjutnya diidentikkan dengan dewa Waruna yang berkuasa di
sorga. Bulan adalah tempat cairan soma yang dianggap sacral dan kebeningannya
yang indah berkilau karena sinar sorga dianggap sebagai sari penting dari raja
langit.
Dewa penting setelah agni adalah Waruna atau Aditya, putra Adity, dewi
kebaikan. Berkat kerja Waruna maka langit, matahari, bulan dan bintang dalam
tata surya dapat bekerja dengan baik dan sebagaimana mestinya. Sungai-sungai
mengalir dan musim silih berganti selaras dengan cosmos (alam) lain oleh karena
itu dosa adalah menyalahi tata tertib cosmos, dan agar kembali normal perlu
dilakukan sesembahan kurban dan sesaji.[8]
Sesudah dewa Waruna, ada beberapa dewa lain yang masing-masing kurang jelas
urutan kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (dewa matahari), Wisnu,
si kembar Aswin atau Nasatya (dewa alam pagi hari) yang
kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas (dianggap sebagai dewa fajar), Merut
(dewa taufan dan angin rebut), Rudra (dewa taufan dan petir), Parjanya
(dewa hujan), dan Saraswati (dewa sungai yang kemudian dianggap
sebagai dewi ilmu pengetahuan). Dewa-dewa penting sebagai personifikasi
kekuatan alam adalah dewa Prajapati (penguasa alam dan segala makhluk), Wiswakarman
(dewa pencipta), Brhamanaspati atau Braspati (dewa
personifikasi pembuatan manusia alam sesaji), Widhatar (dewa guntur).
Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali dewa, namun ia tidak dapat
dikatakan politeistis karena ternyata dewa tertentu yang sedang dipuja selalu
dianggap sebagai dewa tertinggi yang memiliki segala kekuatan para dewa
yang lain. Dengan demikian yang ada hanya satu dewa tertinggi saja yang
memiliki kekuatan para dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu
barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteistik
(henoteisme). Max Miller juga menghindari istilah monoteisme atau politeisme
dalam ketuhanan agama Hindu. Ia menggunakan istilah “henoteisme” karena ada
kecenderungan melukiskan semua kekuatan pada tuhan tertentu dan utama yang ada
dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan yang
Lenoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteistik
(kathenotheism) karena dalam agama ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan
dan mengagungkan hanya satu dewa yang maha tinggi yang diperlakukan sebagai
objek tunggal, akan tetapi dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.
2.
Roh-Roh
(Jahat)
Menurut kepercayaan Weda kuno, selain para dewa masih ada
lagi roh-roh jahat. Roh jahat ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi
musuh para dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau
(Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaanya adalah Raksa dan Pisaca (pemakan
bangkai). Raksa sering menampakkan diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi
roh “halus” seperti gandarwa, yaksa, bhuta, dan raksasa.
Arwah leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan
agama Weda ini. Apabila orang meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam
bahagia tetapi masih mengembara dalam keadaan menderita. Jiwa semacam ini
disebut dengan preta, dan sangat membahayakan. Oleh karena itu
keturunannya, anak cucu terutama anak laki-lakinya, perlu mengadakan upacara
sesembahan dan menyelenggarakan upacara korban supaya preta segera sampai
kealam bahagia yaitu alam pitara. Raja para pitara adalah dewa Yama.[9]
3.
Korban dan
Praktek Keagamaan
Korban
Setiap yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu adalah
perwujudan dari pengamalan ajaran agama. Karena itu setiap aktivitas beryadnya
termasuk dalam sebutan “upacara agama”. Dasarnya, bahwa setiap pelaksanaan
yadnya didasari atas sumber hukum berupa kitab suci Weda baik dalam katagori
Sruti (wahyu) maupun Smrti (tafsir wahyu).
Weda Sruti sebagai sumber dari segala pelaksanaan ajaran agama Hindu. Sedangkan Weda Smrti merupakan penjabaran suratan Weda yang sudah disiratkan.
Weda Sruti sebagai sumber dari segala pelaksanaan ajaran agama Hindu. Sedangkan Weda Smrti merupakan penjabaran suratan Weda yang sudah disiratkan.
Kongkretnya lagi, Weda Sruti sebagai rumus-rumus agama
sementara Weda Smrti berperan selaku kamus-kamus petunjuk pelaksanaannya. Apa
yang kemudian disebut sebagai upacara adat sebenarnya merupakan bentuk-bentuk
tafsir ajaran Weda yang ditradisikan. Inilah yang diistilahkan sebagai tradisi Weda,
artinya suatu bentuk kegiatan atau aktivitas suatu masyarakat (mis. Bali), yang
berdasarkan atas ajaran agama Hindu yang sudah men-desa-kala-patra. Lebih
sederhananya lagi upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali
merupakan bentuk penjabaran Weda menurut nuansa tradisi. Tetap ingat, tidak
semua tradisi masyarakat Bali itu dapat disebut sebagai upacara adat.
Yang dapat disebut upacara adat hampir selalu dicirikan oleh
nuansanya yang agamais. Atau dengan kata lain upacara adat itu adalah tradisi
yang dijiwai oleh unsure-unsure keagamaan. Contoh : upacara ngaben, penggunaan
wadah, jempana, lembu merupakan tradisi yang hanya dibuat oleh masyarakat Hindu
di Bali. Sedangkan esensi keagamaannya terlihat pada upacara pembakaran mayat
dengan konsep mempercepat proses pengembalian (pemralina) unsure-unsure
Pancamahabutha sang mati. Unsure agama lainnya, doa, japa, mantra dan yadnya
yang digelar sebagai pengantar, pengharap agar arwah sang mati mendapat jalan
lapang sesuai karma dan bhaktinya menuju alam-Nya.
Perihal bunyi kitab suci Bhagavadgita IX.26 yang meyebutkan
sarana persembahan berupa bunga, buah, air dan daun yang tidak bersifat
mengikat tetapi kenyataannya masih diatur lagi sehingga tidak semua jenis bunga
misalnya yang dapat dipakai sarana upacara atau upakara yadnya dapat diberi
penjelasan dengan membandingkan di sekala. Untuk itulah ada buku atau lontar
yang menjabarkan tentang jenis bunga yang bisa dan tidak dipakai dalam
persembahan. Yang pasti setiap sarana persembahan patut mengacu pada
persyaratan seperti : Sukla (belum pernah diaturkan), tan leteh (tidak bernoda
atau cemar), tidak didapat dari perbuatan jahat (mencuri) dan sesuai dengan
sastra (petunjuk lontar) serta dresta (tradisi).[10]
Umat Weda memulaikan para leluhur mereka dengan
menyelenggarakan upacara korban, upacara korban, yang selain dilakukkan dengan
harapan supaya para dewa melindungi manusia dari roh jahat, juga supaya para
dewa memberikan kelancaran, kemurahan serta ketentraman. Tujuan utama upacara
korban dalam agama Weda ini ialah terjaminnya tata tertib kosmos.
Dua macam upacara korban simbolik yang penting ialah :
pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik
dalam kitab Rg-Weda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani
korban untuk penciptaan dan kedua adalah korban sarwameda di mana
manusia mengakui ke maha kuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa
melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.[11]
Selain itu masih ada korban Rajasanya, korban untuk
pengobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarakan dengan upacara yang disebut
Aswemeda. Untuk keperluan sehari-hari korban dilakukan oleh kepala
keluarga yang diselenggarakan di api keluarga. Ada pula upacara korban yang
diselenggarakan di rumah-rumah atau di altar. Dari segi penyelenggaraan, korban
yang dilakukan hanya oleh seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan.
Biasanya korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang
sangat diutamakan biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah
menyitir bait-bait yang terdapat dalam Rg-Weda. Pendeta Adwaryu juga
penting karena dalam penyelenggaraan korban ini diperlukan
persiapan-persiapan yang cermat.
Di kalangan rakyat umum terdapat beberapa upacara korban
sebagai upacara siklus kehidupan. Di beberapa tempat, upacara
tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang sangat
sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh
pemilik rumah selaku penanggungjawab anggota keluarganya. Upacara ini juga
mementingkan api.
Praktek
Keagamaan
Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang pada zaman ini ialah kurban.
Kurban-kurban itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan
dewa-dewa, menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan memuja para
leluhur.[12]
Pada hakikatnya kurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa itu bersifat
permohonan, yaitu mohon keuntungan-keuntungan bagi hari depan, sehingga kurban
ucapan syukur bagi hal-hal yang sudah dialaminya tidak ada.
Dengan kurban itu mereka bermaksud untuk menggerakkan hati para dewa sehingga
mereka berkenan mengabulkan permohonan yang diajukan bersamaan dengan
kurban-kurban itu.
Ada dua macam kurban, yaitu kurban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada
waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi,
musim hujan, dan musim dingin.
Disamping itu ada kurban berkala,yang dikurbankan jika ada keperluan,
umpamanya kurban sama, aswameda atau kurban kuda, rajasuya, dan
sebagainya.
Kecuali kurban-kurban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan
orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4
bulan, yaitu waktu diajak berpergian untuk pertama kali, atau juga waktu anak
makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan
sebagainya. Demikianlah seluruh kehidupan orang pada zaman itu diliputi oleh
upacara-upacara keagamaan.[14]
KESIMPULAN
Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, di dalam
mendekati dan menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya
kepada alam. Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam.
Dewa dalam Hinduisme membuat agama ini menjadi agama yang
penuh dengan keindahan. Di dalam kitab Weda Samhita terdapat dua golongan yang
kedudukannya lebih tinggi dari manusia yaitu : Dewa-dewa pemurah terhadap
manusia dan menerima pujaan manusia, dan para roh jahat yang memusuhi manusia.
selain para dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat ada
dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para dewa. Musuh Indra
adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang
kekuasaanya adalah Raksa dan Pisaca (pemakan bangkai). Raksa
sering menampakkan diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi roh “halus”
seperti gandarwa, yaksa, bhuta, dan raksasa.
Dua macam upacara korban simbolik yang penting ialah :
pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik
dalam kitab Rg-Weda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani
korban untuk penciptaan dan kedua adalah korban sarwameda di mana
manusia mengakui ke maha kuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa
melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.
Ada perbedaan antara konsep kurban pada zaman Weda dengan
zaman Brahmana, di mana pada zaman Weda korban diajukan untuk mempengraruhi
dewa-dewa agar membantu manusia dan tidak ada kekuatan magi. Sedangkan pada
zaman Brahmana tingginya nilai yang diberikan kepada korban sehingga kurban itu
sangat berarti. Sehingga berhasil atau tidaknya maksud sangat tergantung pada
kekuatan korban itu sendiri serta matra-mantra Brahmana.
DAFTAR PUSTAKA
H.A.
Mukti Ali, Pengantar Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press.
Bandung h. 63
Michael
Keene, Agama-agama Dunia, Kanisius press.yogyakarta. h. 15
Dr.
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha. Jakarta
Dr.
A. G. Honig Jr. Ilmu Agama. Jakarta
Prof.H. Hadikusuma Hilman, S.H. Antropologi
Agama, PT. CITRA ADITYA BAKTI. Bandung
Pendahuluan
Agama Hindu adalah agama yang
mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia.
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase,
yakni Jaman Weda, zaman Brahmana, zaman Upanisad dan zaman Budha.
Zaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada
di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi,
setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi
Dekkan. Bangsa
Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni,
Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun
semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang
Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang
disebut "Rta". Pada zaman ini,
masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada zaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana
amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan
persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Zaman Brahmana ini ditandai pula mulai
tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab
Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan
tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di
dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada zaman Upanisad, yang
dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih
meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir
rahasia alam gaib. Zaman
Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada zaman ini muncullah ajaran filsafat yang
tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan
Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
2. Zaman Brahmana
Agama Brahmana
bersumber kepada kitab Brahmana, yaitu bagian kitab Weda yang kedua. Kitab ini
ditulis oleh para imam atau Brahmana dalam bentuk prosa. Isinya memberi keterangan
tentang korban. Hal ini disebabkan karena zaman ini adalah suatu zaman yang
memusatkan keaktifan rohaninya kepada korban.
Pada zaman
Brahmana ini memang timbul perubahan-perubahan suasana. Ciri-ciri zaman ini
adalah:
1.
Korban
mendapat tekanan yang berat
2.
Para
Imam (Brahmana) menjadi golongan yang paling berkuasa.
3.
Perkembangan kasta
dan kasta
4.
Dewa-dewa
berubah perangainya
5.
Timbulnya
kitab sutra[13]
1.
Masalah
Korban
Pada zaman weda purba korban masih menjadi alat untuk mempengaruhi
para dewa, agar mereka berkenan menolong manusia. Namun pada zaman itu juga
sudah tampak gejala-gejala magi, yaitu bahwa korban dipandang sebagai alat
untuk memaksa para Dewa menolong manusia. Jadi sebenarnya korban itu sendiri
sudah dipandang sebagai memiliki daya magis, yang lebih kuasa dari pada para
Dewa.[14]
Tujuan utama upacara korban dalam
agama weda ini adalah terjaminnya tata tertib kosmos. Pelasanaan korban
dipimpin oleh pendeta yang membujuk dan merayu
para dewa untuk mengabulkan permohonan manusia. Dua macam upacara korban simbolik yang terpenting
adalah: pertama korban manusia (purusa), sebagaimana tercantum dalam
kidung kosmogonik dalam kitab Rigweda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi
telah menjalani korban untuk penciptaan, dan kedua adalah korban sarwaweda dimana manusia mengakui kemahakuasaan
Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa melimpahkan segala miliknya
kepada seluruh manusia. Untuk keperluan
sehari-hari korban dilakukan oleh kepala keluarga yang diselenggarakan di api
keluarga.
Korban
besar diuraikan dalam srauta-sutra. Di antara korban besar yang
terpenting ialah korban kuda (aswameda). Korban aswameda dimulai
dengan menyajikan makanan kepada para brahmana. Menurut ketentuan, korban ini
diikuti dengan membagi-bagikan sejumlah besar lembu dan beberapa keeping uang
mas.
Korban
kecil banyak di uraikan dalam Gringhya-sutra. Korban ini hanya
memerlukan kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api suci yang ditaruh di
setiap rumahtangga. Korban kecil lainnya adalah naimittika yang biasanya
dilakukan sehubungan dengan siklus kehidupan. Korban ini sering diselenggarakan
pada waktu akan menerima tamu penting, waktu anak masih berada dalam kandungan,
saat kelahiran, pemberian nama dan pada siklus-siklus kehidupan manusia
lainnya.
Upacara
korban tersebut sebenarrnya bukan lagi merupakan upacara agama yang sebenarnya.
Korban disini bukan lagi berpusat pada dewa akan tetapi pada manusia dan
hubungan antara manusia dengan dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat
magis saja. Dalam perkembangan selanjutnya, ajaran korban dalam agama Brahmana
ini sangat dikecam oleh ajaran Upanishad.
Demikian besar fungsi korban
sehingga korban menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan atas dunia sekarang dan
akhirat, atas yang tampak dan yang tak tampak, atas yang bernyawa dan yang tak
bernyawa. Barang siapapun yang berhasil memperoleh daya itu, ialah Tuhan dunia.[15]
Bahkan dikatakan bahwa penciptaan Dunia itu hasil dari adanya korban yang
dilakukan oleh dewa yang tertinggi, yaitu Prajapati atau Brahma. Bahkan lebih
dari itu korban dilepaskan dari Dewa-dewa, dijadikan suatu daya yang berdiri
sendiri, yang senantiasa berada dimana-mana yang dapat dipergunakan sebagai
jembatn manusia menuju kebahagiaan.[16]
2.
Kasta
Perbedaan susunan masyarakat Hindu dari masyarakat
lain di dunia ini karena adanya golongan-golongan yang eksklusif dan berdiri
sendiri dalam masyarakat mereka, golongan-golongan ini disebut kasta. Tiap
kasta mempunyai kedudukan sosial yang sangat tajam batas-batasnya, batas-batas
mana diasaskan pada Hinduisme. Hanyalah asal kelahiran yang menentukan
kedudukan sesuatu golongan dan seseorang dalam masyarakat Hindu, yang tidak
dapat diubah oleh prestasi apapun dalam hidup seseorang. Perbedaan besar antara
mesyarakat Hindu dengan golongan-golongan bangsa-bangsa lain ialah: bahwa
perbedaan derajat yang ditimbulkan asal kelahiran ini dapat berubah ole adanya
prestasi seseorang dalam hidupnya, sedang masyarakat Hindu percaya bahwa
pembedaan derajat itu berakar dalam prinsip-prinsip yang tidak dapat diubah
sama sekali.
Golongan kasta yang utama adalah :
1. Brahmana, yang terdiri dari golongan pendeta dan ulama-ulama.
2. Ksatrya terdiri dari perwira balatentara, dan pegawai negeri.
3. Waisya, yaitu kaum buruh, tani, dan saudagar.
4. Sudra, yaitu hamba sahaya dan orang-orang yang mengerjakan pekerjaan yang
hina.
Perlu diketahui bahwa anggota-anggota keempat kasta tadi, tidak sudi
terhadap satu sama lainnya. Mereka tidak diizinkan berhubungan antara yang satu
dengan yang lain dengan begitu saja, misalnya dalam perkawinan antara
orang-orang dari kasta yang berlainan.
Di bawah katagori yang keempat tadi, masih ada golongan ke-lima yaitu
golongan Paria yang biasa disebut dengan outcast. Golongan ini hampir tidak
dapat dinamakan suatu suatu kasta dan malah tidak boleh didekati.
Anggota-anggota kasta yang empat tadi tidak boleh berhubungan langsung dengan
anggota-angngota golongan ini[17]
3.
Asrama
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam Agama Brahmana disebutkan
adanya empat tingkatan hidup yang harus diakui oleh setiap orang penganut agama
tersebut.
Hidup manusia dibagi menjadi empat Asrama atau tingkatan hidup, yaitu:
Ø
Brahmacarya,
yaitu tahap
menjadi murid, seorang anak akan meninggalkan rumah orangtuanya dan menetap
sebagai siswa (sisya) dikediaman seorang guru untuk mempelajari isi
kitab veda dan pengetahuan keagamaan lainnya.
Ø
Grhastha,
tahap menjadi
kepala keluarga, setelah anak tersebut menuntut ilmu anak tersebut segera
pulang dan kawin.
Ø
Wanaprastha,
atau tahap
menjadi penghuni hutan (pertapa), tingkatan ini adalah tingkatan yang harus
ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut.
Ø
Sannyasa,
atau tahap
hidup penyangkalan, yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan dunia
4.
Dewa-dewa
Agama Hindu pada
pokoknya tidak mempercayai adanya Tuhan dalam arti kata yang sebenarnya,
seperti dalam pengertian kita umat Islam. Unsur-unsur kepercayaan kekuatan
gaib, tidak tegas malah menurut filsafat wedanta, semua benda ini hanyalah
khayal belaka, pada hakekatnya semua itu Tuhan.
Kekuasaan gaib yang
tidak berwujud ini tidak dapat digambarkan dalam pikiran, karena dorongan untuk
mengenal kekuasaan yang tak kelihatan ini, maka orang Hindu mewujudkannya
dengan TRIMURTI yang terdiri dari sang Brahmana, Wisynu dan Syiwa. Brahma ialah
pencipta alam semesta, wisnu adalah dewa pelindung dan siwa adalah dewa
pembinasa. Pada dasarnya ketiganya adalah wujud dari satu ke Tuhanan.
a. Brahmana
Dewa Brahma mempunyai
empat buah kepala yang melihat ke segala penjuru. Ini adalah satu tanda yang menyatakan
kebijaksanaannya. Ialah pencipta segala sesuatu dan isterinya Saraswati adalah
Dewi Kesenian. Dewa Brahma sekarang tidak lagi dipandang sebagai dewa yang
terutama. Di seluruh India hanya ada sebuah candi Brahma yaitu di Pusykar.
Dewa Wisynu makin lama
makin banya pemujanya karena ia diwujudkan sebagai dewa yang penyayang
yang bertangan empat. Di tempat tidurnya berbaring seekor ular bernama Ananta,
yang mempunyai seribu kepala. Ia hanya tertidur bila mendengar doa-doa dewa
yang lain, mereka memerlukan seorang juru pemisah dan penolong, untuk menjaga
seluruh alam, karena kadang-kadang terancam oleh kekuasaan-kekuasaan jahat.
b. Wisynu
Menurut kepercayaan
Hindu, Wisynu menjelma sepuluh kali untuk menolong dunia ini. Sembilan dari
penjelmaan telah berlaku, akan tetapi penjelmaan yang kesepuluh masih akan
tiba.
Kesepuluh penjelmaan
(avatara) itu ialah sebagai:
a. Ikan
b. Kura-kura
c. Babi
d. Singa berkepala manusia
e. Korcaci (orang kate)
f. Parasuratna (seorang Brahmana)
g. Rama
h. Krisyna
i. Buddha Gautama
j. Kalki
Semua penjelmaan ini
gunanya untuk menolong dunia dan manusia.
c. Syiwa
Dewa Syiwa diwujudkan
sebagai seorang pengemis kayangan dan sebagai seorang pelancong yang suka
bergaul dengan hantu dan orang halus yang selalu berkeliaran di tempat-tempat
pembakaran mayat di gurun pasir. Ia tak mempunyai istana, sebab ia diam bersama
istri-istrinya di Durga di atas gunung Kailasa di pegunungan Himalaya. Menurut
orang Hindu hal ini adalah akibat dari pada sumpah dewa Brahma karena Syiwa
telah memancung salah sebuah kepala Brahma ketika timbul pertengkaran antara
keduanya tentang kekuasaan.
Ia menjadi Dewa dari
orang-orang pertama dan mereka yang telah menguasai hukum-hukum alam. Binatang
kendaraannya Nandi pun dipuja orang. Istrinya mempunyai beberapa nama: Pati,
Durga, Kali, Sakti, Uma, dan sebagainya. Anak mereka ada dua orang yaitu
Ganesya dan Kartikaya.
Dari kedua anak Syiwa
ini, Ganesyalah yang lebih dihormati orang. Ia adalah dewa kecerdasan dan
kesabaran. Ia berkepala gajah dan berbadan manusia. Hal inipun adalah akibat
sumpah dari Dewa Brahma. Kartikaya, anak bungsu adalah Dewa peperangan
Ibadat dan pemujaan
tidaklah hanya dihadapkan kepada mahadewa Brahma, Wisynu dan Syiwa tetapi lebih
dahulu langsung kepada tenaga dan daya alam yang dianggap sebagai dewa, yang
langsung mempengaruhi kehidupan manusia. Tenaga dan kekuatan alam inilah yang
sebenarnya dipuja. Nama dari masing-masing dewa itu adalah daya alam itu
sendiri. Diantara dewa-dewa itu ialah:
1. Surya (Dewa Matahari)
2. Agni (Dewa Api Suci)
3. Wayu (Dewa Angin)
4. Candra (Dewa Bulan)
5. Waruna (Dewa
Alam/Angkasa)
6. Marut (Dewa
Badai/Topan)
7. Paryania (Dewa Hujan)
8. Acwin (Dewa Kembar atau
Dewa Kesehatan)
9. Usa (Dewa Fajar)
10. Indra (Dewa Perang)
11. Westra (Dewa Jahat)
Diantara semua
dewa-dewa itu yang terutama sekali dan paling banyak mendapat puji-pujian ialah
dewa Indra dan Agni. Dewa indra dipandang juga sebagai dewa rahmat yang membawa
kebahagian. Dewa indra juga mendapat julukan dengan sebutan “puramdara” yaitu
dewa penggempur benteng. Hal ini mengingatkan mereka ketika bangsa Arya
mula-mula dating kelembah Sindhu dengan peperangan, bertemu dengan bangsa Dravida
yag bertahan dalam Sembilan puluh benteng, akhirnya bangsa dravida dapat
dikalahkan. Bagi bangsa arya kemenangan ini sebagai pertolongan dari dewa
indra.
Dewa Indra adalah dewa
yang terus menerus berperang menggempur dewa wertra, yaitu dewa jahat yang selalu
menahan air hujan dalam gumpalan-gumpalan awan. Dewa pertolongan Indra memaksa
wertra akhirnya hujan turun ke bumi.
Dalam memuja Dewa
Indra, biasa dipersembahkan saji yang berisi soma, yaitu semacam minuman dari
getah tumbuh-tumbuhan candu yang biasa memabukkan. Maksud saji ini agar Dewa
Indra terus berperang dalam keadaan mabok dan tak peduli, sehingga Wertra dapat
dikalahkannya.
Dewa kedua yang
dianggap mulia dan lebih banyak dapat pujaan ialah dewa api (agni), karena agni
sebagai sahabat bagi manusia dalam hidupnya. Di dalam setiap rumah sudah tentu
dibutuhkan api untuk memasak, untuk penerangan dan pemanas. Pada setiap upacara
pemujaan, api tidak boleh ketinggalan, api menjadi syarat utama.
Pada waktu upacara
pemujaan dewa yang disembah dimohon agar turun, duduk di atas selembar tikar
kuca (tikar rumput) yang dibentangkan, lalu barang-barang sajian dimasukkan ke
dalam api, sebagai khayalan bahwa sajian ini dimasukkan ke dalam mulut dewa.
Selain kepada Dewa
Indra dan Agni ada juga dilakukan pemujaan, menurut kebutuhan masing-masing
yang memuja. Dan bagi tiap-tiap keluarga dan rumah tangga, kepala keluargalah
yang berkewajiban melakukan saji dalam pemujaan menurut apa yang dibutuhkan
oleh keluarganya.
Hanya pada ketika
memuji dan memuja suatu dewa dalam memohon kebutuhan dan hajat, si pemuja
hendaklah meletakkan suatu kepercayaan dalam hatinya, bahwa tidak ada suatu
dewa yang lain selain dewa yang disembahnya itu.[18]
Sutra-sutra
Pada
zaman ini mulailah timbul kitab-kitab sutra, yaitu kitab-kitab pedoman yang
berisi petunjuk-petunjuk tentang banyak hal, dan yang ditulis dalam
kalimat-kalimat yang pendek. Kitab-kitab ini tidak tergolong Weda, melainkan
termasuk kitab-kitab yang disebut Wedangga, atau anggota Weda. Isinya
membicarakan hal ilmu bahasa, upacara, tata bahasa, ilmu pengetahuan tentang
soal dan arti kata, dan lain sebagainya.
5.
Kaum
Pendeta
Brahmana adalah salah satu golongan karya atau warna dalam Agama
Hindu. Mereka adalah golongan cendekiawan yang mampu menguasai ajaran,
pengetahuan, adat, adab hingga keagamaan. Di zaman dahulu, golongan ini umumnya
adalah kaum pendeta, agamawan atau Brahmin. Kaum Brahmana tidak suka kekerasan
yang disimbolisasi dengan tidak memakan dari makhluk berdarah (bernyawa).
Sehingga seorang Brahmana sering menjadi seorang vegetarian. Brahmana adalah
golongan karya yang memiliki kemampuan
penguasaan ilmu pengetahuan baik pengetahuan suci maupun pengetahuan ilmiah
secara umum.[19]
3. Zaman Upanishad
Hidup
keaagmaan pada zaman ini bersumber kepada bagian Weda, yaitu kitab-kitab Aranyaka
dan Upanishad. Kitab-kitab Aranyaka disusun oleh para pertapa yang
berada didalam hutan (aranya). Isinya pada umumnya membicarakan teman-teman dan
hal-hal yang juga dibicarakan didalam kitab-kitab Upanishad. Kedudukunnya ada
diantara kitab-kitab Brahmana dan Upanishad.[20]
a)
Brahman
a.
Pengertian
Brahman sebenarnya sudah dikenal pada zaman Agama Weda samhita. Mula-mula
Brahman adalah ilmu atau ucapan yang suci, suatu nyanyian atau mantra, sebagai
pernyataan yang konkrit dari hikmat rohani. Tetapi kemudian Brahman adalah doa,
atau daya yang beradadidalam doa. Pada dirinya sendiri doa itu dipandang
sebagai sudah memiliki kasekte, sudah mengandung sari dari hal-hal yang disebut
didalam doa tadi.
Di dalam Agama Upanishad, Brahman dianggap sebagai yang menyebabkan
segala gerakan dan perubahan Brahman menjadi semacam “jiwa alam semesta”[21]
b)
Atman
Di dalam Weda samhita atman
diartikan: nafas, jiwa dan pribadi. Di dalam kitab-kitab brahmana dinyatakan
bahwa atman adalah pusat segala fungsi jasmani dan rohani manusia. Di dalam
Upanishad disebutkan, bahwa pengihatan, pendengaran dan sebagainya satu persatu
meninggalkan tubuh untuk mengetahui siapa dari fungsi-fungsi hidup itu yang
terpenting. Akhirnya diketahui bahwa yang terpenting adalah nafas, atman.
Dengan ini dijelaskan bahwa atman adalah hakikat manusia yang sebenarnya.
c)
Karma
selanjutnya Upanishad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk
dan takluk terhadap karma, baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan.
Karma meliputi kehidupan dahulu,
sekarang dan yang akan datang. Alasan mengapa semua benda yang hidup terus
menerus dilahirkan kembali adalah karma, hukum sebab akibat. Orang hindu
percaya bahwa karma yang menumpuk dalam kehidupan sebelumnya pindah ke masa
kini dan sangat menentukan wujud kelahiran jiwa kembali.[22]
d)
Reinkarnasi
Reinkarnasi
disebut juga samsara, dalam Upanishad juga mengajarkan tentang samsara, yaitu
bahwa kehidupan bukan saja akan berakhir dengan kematian, tetapi kematian pun
akan berakhir dengan kematian, tetapi kematianpun akan berakhir dengan
kehidupan. Artinya yang hidup akan mati dan yang mati akan hidup lagi, demikian
seterusnya.tinggi rendahnya kehidupan yang kemudian tergantung pada karman. Perbuatan
baik yang lebih banyak daripada perbuatan buruk akan mengakibatkan karman yang
baik sehingga kehidupan baru itupun akan lebih baikdaripada kehidupan yang
sebelumnya.
Samsara adalah
perputaran kelahiran kembali atau disebut juga Reinkarnasi. Hanya manusia yang
telah mencapai atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja yang dapat
mengatasi hukum karma dan mencapai moksa. Orang semacam ini akan terlepas dari
keterikatan dengan proses ulang kelahiran kembali atau samsara. Untuk dapat
lepas dari samsara ia harus menghancurkan dan menumpas keinginan-keinginannya,
yaitu dengan mengetahui bahwa atman adalah Brahman sehingga dapat sampai pada
pengetahuan yang sejati (jnana). Barang siapa mencapai tingkatan ini ia akan
mencapai moksa, yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia
akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukta.[23]
e)
Moksa
Dalam agama Hindu kita percaya adanya panca Sradaya yaitu lima
keyakinan yang terdiri dari: Brahman, Atman, karma pala, reinkarnasi dan moksa.
Moksa berasal dari kata sansekerta dari akar kata “MUC” yang artinya bebas atau
membebaskan. Moksa dapat juga disebut dengan mukti artinya mencapai kebebasan
jiwatman atau kebahagiaan rohani yang langgeng.
Jadi moksa adalah
suatu kepercayaan adanya kebebasan yaitu
bersatunya antara atman dengan Brahman. Kalau orang sudah mengalami moksa dia
akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan bebas dari
penjelmaan kembali (reinkarnasi).[24]
Daftar pustaka
·
Mukti
Ali, Agama-agama Di Dunia, IAIN sunan kalijaga press, Yogyakarta:1988
·
Arifin
M. Ed, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, Golden Trayon Press,
Jakarta: 2002.
·
Abdul
Manaf Mudjadid, sejarah Agama-agama, Rajawali press, Jakarta: 1996.
·
Michael
keene, Agama-agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta: 2006.
·
Harun
hadiwijono, Agama Hindu dan budha, BPK Gunung mulia, Jakarta: 1987.
·
C.J.
Bleeker, Pertemuan Agama-agama Dunia, sumur Bandung: 1964
·
Moh.
Rifai, Perbandingan Agama-agama, Semarang : Wicaksono 1984 hal 79-80
[4] Prof.H. Hadikusuma Hilman, S.H. Antropologi Agama, PT. CITRA
ADITYA BAKTI. Bandung. h. 169
[10] http://desatamblang.blogspot.com/2008/09/upacara-agama-dan-upacara-adat.html, 10 sep 2012 , 21.15
[13] Harun hadiwijono, Agama Hindu dan budha, BPK Gunung mulia,
Jakarta, 1987, hlm. 18
[14] Abdul Manaf Mudjadid, sejarah Agama-agama, Jakarta, 1996, hlm. 11
[21]Abdul Manaf Mudjadid, sejarah Agama-agama, Jakarta, 1996, hlm. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar