1. Peradaban
Lembah Sungai Indus
1. Peradaban
Lembah Sungai Indus
(gambar peradaban Lembah sungai Indus. Setelah mendiami areal seluas
ukuran Eropa barat di wilayah yang sekarang Pakistan dan India barat, daerah
itu dihuni sejak tahun 7000 SM. Meskipun menjadi salah satu peradaban kuno
terbesar, tidak banyak yang diketahui tentang peradaban Harappa, terutama
karena bahasa mereka belum bisa diterjemahkan.)
Peradaban Lembah Sungai Indus,
2800 SM–1800 SM, merupakan sebuah peradaban kuno yang hidup sepanjang Sungai
Indus dan Sungai Ghaggar-Hakra yang sekarang Pakistan dan India Barat.
Peradaban ini sering juga disebut sebagai Peradaban Harappan Lembah
Indus, karena kota
penggalian pertamanya disebut Harappa, atau juga Peradaban Indus
Sarasvati karena Sungai Sarasvati yang mungkin kering pada akhir 1900
SM. Panjang Sungai Indus kurang lebih 2900 kilometer. Pemusatan terbesar dari
Lembah Indus berada di timur Indus, dekat wilayah yang dulunya merupakan Sungai
Sarasvati kuno yang pernah mengalir.
Sisa peradaban Lembah Sungai Indus ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu
Mohenjodaro dan Harappa. Kebudayaan Indus ini didukung oleh bangsa Dravida yang
berbadan pendek, berhidung pesek, berkulit hitam, berambut keriting. Kebudayaan
Indus berhasil diteliti oleh seorang arkeolog Inggris, Sir John Marshal, yang
dibantu Banerji (orang India).
Mata pencaharian bangsa Dravida adalah bercocok tanam, yang
dibuktikan dengan ditemukannya cangkul, kapak, dan patung Dewi Ibu yang
dianggap lambang kesuburan. Hasil pertanian berupa gandum dan kapas. Sudah ada
saluran irigasi untuk mencegah banjir serta untuk pengairan sawah-sawah rakyat.
Dalam perdagangan terlihat adanya hubungan dengan Sumeria di Lembah Eufrat dan
Tigris, yang diperdagangkan adalah keramik dan permata.
Perkembangan kepercayaan Lembah
Sungai Indus.
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah
mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi
suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran
jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak
terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke
dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar,
disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah
tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja
orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak
lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang
lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan
pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk.
Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi
binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan
lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada
materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan
adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan
seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.Sudah
mengenal sistim kepercayaan menyembah banyak dewa (politeisme) serta segala
sesuatu yang dianggap keramat. Contohnya adalah pohon pipal dan beringin yang
oleh umat Buddha dianggap pohon suci, binatang yang dipuja adalah gajah dan
buaya.
Kita tidak tahu banyak tentang
peradapan Lembah Indus. Namun, patung-patung para dewi yang dibuat pada
zamannya memberi kesan bahwa orang-orang Lembah Indus sangat menekankan
pentingnya kesuburan wanita. Beberapa dewa dan dewi Hindu, seperti Shiva,
mungkin merupakan keturunan dari para dewi yang hidup pada zaman sebelumnya.
A.
Periodisasi Sejarah Agama Hindu
Agama
Weda
Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, didalam mendekati dan
menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam.
Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam.
Zaman Weda, merupakan zaman sejak masuknya bangsa Arya di Punjab hingga
timbulnya agama Budhha pada kira-kira tahun 500 SM. Zaman ini dapat dibagi lagi
menurut pertumbuhan kitab-kitab yang menjadi sumber hidup keagamaan pada zaman
ini, menjadi :
a. Zaman Weda purba atau zaman Weda
Samhita, dimulai dari tahun 1500 SM hingga kira-kira tahun 1000 SM. Pada zaman
ini bangsa Arya massih berada di Punyab, yaitu daerah Sungai Indus atau Sindhu.
Di sini belum banyak terdapat penyesuaian diri dengan peradaban India purba.
b. Zaman Brahmana, kira-kira tahun 1000 SM hingga
kira-kira tahun 750 SM. Pada zaman ini para imam, yaitu para Brahmana, sangat
berkuasa dan menimbulkan kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya
dibandingkan dengan kitab-kitab Weda Samhita. Sekarang penyesuaian diri dengan
peradaban India purba sudah lebih maju, sehingga timbul jiwa baru.
c. Zaman Upanisad, tahun 750 SM hingga
tahun 500 SM. Pada zaman ini pemikiran secara falsafah mulai berkembang. Pusat
peradaban berpindah dari Punyab ke Lembah Gangga.
Pada zaman ini kehidupan keagamaan
orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang
disebut Weda Samhita, yang berarti perkumpulan Weda.
Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). Menurut tradisi
Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan
oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta dalam bentuk mantra-mantra,
yang kemudian disusun sebagaian puji-pujian oleh para resi tadi sebagai
pernyataan rasa hatinya.
Unsure-unsur
dasar agama Weda :
1. Percaya dan takut kepada daya-daya
kekuasaan
2. Ritus untuk mempengaruhi daya-daya
kekuasaan
3. Kesadaran akan adanya tata tertib
kosmos
4. Kecenderungan kepada mistik
Sejak zaman dahulu orang memberi penghargaan yang istimewa
terhadap pengasingan diri untuk bermeditasi (bersemadi). Pengetahuan yang
didapat orang dari meditasi, dianggap sesuatu yang lebih tinggi dari pada
pengetahuan yang dicapai dengan akal. “Meleburkan diri dalam daya-daya
kekuasaan dan menjadi satu dengan daya-daya kekuasaan tersebut” diusahakan
dengan bermacam-macam cara. Maka disebutlah “orang yang tajam tiliknya para
rsi, yang dengan jalan demikian dapat mengetahui rahasia-rahasia Dunia, hidup,
dan rahasia-rahasia ritus persembahan.
Sebagai wahyu dewa yang tertinggi, maka Weda-weda itu
disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa yang didengar, yaitu didengar
dewa yang tertinggi. Orang Hindu yakin, bahwa Kitab-kitab Weda adalah napas
Tuhan, kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan kepada
para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar kebenaran itu. Bentuk yang
diwahyukan tadi adalah mantra-mantra.
Sesudah
dibukukan, mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita),
yaitu :
a. Rg-Weda, berasal dari kata “Rig”
yang berarti memuji kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para Dewa dalam
bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi lagi dalam
beberapa bait . Rg-Weda berisi mantra-mantra dalam bentuk puji-pujian, yang
digunakan untuk mengundang para dewa, agar berkenan hadir pada upacara-upacara
kurban yang akan diadakan bagi mereka. Imam-imam atau pendeta yang mengadakan
puji-pujian ini disebut Hort.
b. Sama-Weda, hampir seluruh isinya
diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Rg-Weda
ialah puji-pujian di sini diberi lagu (Sama = lagu).imam atau pendeta yang
menyanyikan Sama-Weda disebut Udgatr. Menyanyikannya pada waktu kurban
dipersembahkan.
c. Yajur-Weda, berisi yajus atau rapal,
diucapkan oleh imam atau pendeta yang disebut Aswarya, yaitu pada saat
ia melaksanakan upacara kurban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja para
dewa, melainkan untuk mengubah kurban-kurban menjadi makanan dewa. Dengan
perantara rapal-rapal itu kurban serta bahan-bahan yang dikurbankan dengan para
dewa, dengan maksud supaya kurban tadi dapat diterima. Dapat dikatakan bahwa
denagn rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipakai untuk memenuhi keinginan
yang berkurban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa,
dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.
d. Atharwa-Weda, berisi mantra-mantra
sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan hidup keagamaan yang rendah,
seperti tampak di dalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi dimaksudkan
untuk menyembuhan orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan musuh dan
sebagainya. Upacaranya bukan diadakan untuk kurban, melainkan diadakan di
rumah.
Mula-mula kitab ini tidak diakui sebagai Kitab Suci, namun
lama-kelamaan diakui juga, sebab kepercayaan rakyat terhadap kitab ini sangat
kuat. Selain itu banyak raja yang mengambil pendeta-pendeta dari golongan ini
sebagai pendeta pribadinya.
Dengan ringkas kita melihat di dalam agama Weda hal-hal
seperti berikut :
a. Agama Weda tidak dapat di pahami
selain sebagai reaksi manusia terhadap pernyataan Allah, baik terhadap
pernyataan di dalam karya Allah, maupun di dalam syariat hukum taurat yang
tertulis di dalam hati manusia (Rm 1 dan 2). Tetapi itupun suatu reaksi, di
mana kelainan manusia berusaha untuk menindas kebenaran. Agama Weda adalah
suatu daya upaya manusia yang jatuh ke dalam dosa untuk menghindarkan diri dari
hukum Allah.
b. Di dalam agama Weda orang berdaya
upaya untuk mendekati dewa-dewa melalui dua jalan : physis dan etis. Melalui
garis physis yang ditentukan oleh pertentangan Indra – Vrta, dewa – sura, Arya
– Dashu, kosmos – chaos. Dan orang berusaha juga mendekati dewa melalui garis
rtik, yang ditetapkan oleh pertentangan : Waruna, penjaga “rta” – dosa manusia.
Kedua aspek dewa itu tidak dilihat sebagai satu hal, tetapi keduanya selalu
berlawanan. Indra dan Waruna berperang mati-matian. Dalam peperangan itu Indra
menang, artinya bahwa garis etik harus kalah di dalam agama Weda.
c. Kebimbangan terhadap pertanyaan
haruskah dewa dipandang sebagai pribadi ataukah sebagai suatu daya kekuatan,
tetap ada selama masa itu.
d. Oleh karena Waruna terdesak ke
samping agama Weda makin menggeser de dalam suasana egoisme. Agama menjadi
suatu daya upaya untuk merebut daya-daya kekuatan yang tersimpan di dalam
kosmos dengan persembahan dan mantera dan menggunakan daya-daya itu untuk
kepentingan-kepentingan egoistis.
e. Perkembangan agama Weda berlangsung
melalui dua garis. Yang pertama adalah garis spekulasi falsafi (renunagan
falsafi). Timbullah skeptisisme (kesangsian) terhadap dewa-dewa yang lama dan
orang berbalik kepada suatu zzat ilahi yang universal dan mujarad (abstrak)
sebagai zat segala zat. Inilah garis pantheistis (pantheisme ialah ajaran bahwa
segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan) yang terutama kelihatan jelas di
dalam berkas kesepuluh dari reg-Weda. Garis yang kedua ialah garis dekadensi
(kemunduran) kepada magi. Tiap-tiap perbuatan persembahan dianggap sebagai
berkekuatan magis. Orang brahmana menjadi ahli sihir. Hal ini terutama ternyata
didalam ajur weda dan di dalam antharwa-weda.
f. Dipandang dari sudut kepercayaan
kita, maka kita hanya dapat mengkonstatir bahea di dalam agama weda manusia
melarikan diri dari kekudusan Tuhan, manusia menundukan kemuliaan tuhan ke alam
insani.Tuhan di samakan atau diidentifikasikan dengan daya kekuatan yang
tinggal di dalam makhluk, atau di buat kabur menjadi suatu pengertian
falsafi. Dengan demikian ia dilukiskan sebagai dzat yang terdalam, inti
segala yang ada.
g. Di dalam agama hindu ada beberapa
pengertian yang kaitannya dengan kepercayaan, yaitu pengertian tentang Rta.
Yang dimaksud dengan pengertian Rta artinya ‘pergi’ kemudian berubah dalam arti
tata- tertib’. Di dalam kitab Weda kata Rta berarti tata tertin alam kosmos,
yang dianggap sebagai pencerminan dari adanya daya kekuatan dan daya kekuasaan
yang menciptakan dan mengaturnya. Kita lihat peredaran tata-surya, matahari,
bulan dan bintang yang tetap teratur. Hal ini berlaku tertin karena ditetapkan
dan diatur oleh Dewa Waruna, yaitu Dewa yang tertinggi, Yang Maha
Pencipta, dalam hal ini disebut Rtawan.
Oleh karena manusia adalah bagian dari alam semesta, maka
manusia harus juga tunduk kepada Rta. Dengan ia tunduk kepada Rta maka manusia
akan mencapai kehidupan yang harmonis, baik sesame manusia, baik dengan alam
lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi apabila manusia mengikuti Rta,
maka apa yang dirasakan, didengar dan dilihat akan di tanggapi sebagai sesuatu
yang indah manis dan nikmat. Bagi umat Hindu Rta terserap dalam Satya (kebenaran) bersama dengan Dharma sehingga merupakan
suatu keyakinan yang penting. Oleh karena Rta adalah pencerminan dari daya
kekuatan dan daya kekutan itu adalah Dewa Waruna, maka keberlangsungannya harus
dijaga. Untuk itu perlu adanya ritus, dan dengan dilaksanakannya ritus maka Rta
akan tetapn berjalan dengan tertib dan teratur. Oleh karenannya manusia
janganlah berbuat dosa, karena berbuat dosa berarti melanggar Rta dan berarti
menentang kekuasaan Tuhan.
1.
Dewa-Dewa
Dewa dalam Hinduisme membuat agama ini menjadi agama yang
penuh dengan keindahan.
Di dalam kitab Weda Samhita terdapat dua golongan yang kedudukannya lebih
tinggi dari manusia yaitu : Dewa-dewa pemurah terhadap manusia dan menerima
pujaan manusia, dan para roh jahat yang memusuhi manusia.
Kitab Rg-Weda menyebutkan adanya 33 dewata, yang dapat dibeda-bedakan atas dewa-dewa
langit, dewa-dewa angkasa, dan dewa-dewa bumi.
- Agni (Dewa api)
- Aswin kembar (Dewa pengobatan,
putera Dewa Surya)
- Brahma (Dewa pencipta, Dewa
pengetahuan, dan kebijaksanaan)
- Chandra (Dewa bulan)
- Durgha (Dewi pelebur, istri Dewa
Siva)
- Ganesha (Dewa pengetahuan, Dewa kebijaksanaan,
putera Dewa Siva)
- Indra (Dewa hujan, Dewa perang, raja
surga)
- Kuwera / Kubera (Dewa kekayaan)
- Laksmi (Dewi kemakmuran, Dewi
kesuburan, istri Dewa Visnu)
- Saraswati (Dewi pengetahuan, istri Dewa
Brahmā)
- Shiwa (Dewa pelebur)
- Sri
(Dewi pangan)
- Surya (Dewa matahari)
- Waruna (Dewa air, Dewa laut dan
samudra)
- Wayu / Bayu (Dewa angin)
- Wisnu (Dewa pemelihara, Dewa air)
- Rudra (Dewa badai)
- Dhara (Dewa Bumi)
- Anala (Dewa Api)
- Anila (Dewa angin)
- Dhruva (Dewa bintang kutub)
- Soma (bulan)
- Prabhasa (Dewa fajar)
- Pratyusa (Dewa sinar)
- Dattatreya
- Savitr
- Yama (Dewa kematian)
- Satya (Dewa kebenaran)
- Kratu (Kehendak)
- Daksa (Dewa keterampilan)
- Kala (Waktu)
- Kama (Keinginan)
- Dhrti (Dewa kesabaran)
- Pururavas (Dewa atmosfir)
- Madravas (Dewa kegembiraan)
Vasu
merupakan sekelompok Devata yang jumlahnya delapan, terutama dikenal sebagai
pengiring Indra. Kata Vasu diambil dari akar kata ‘vas’ (bertempat tingal,
menyebabkan bertempat tinggal, bersinar) sehingga vasu merupakan devata yang
menyatakan segala wilayah luas atau ruang dan ketinggian.
Delapan
vasu tersebut adalah : Dhara, Anala, Ap, Anila, Anala, Dhruva, Soma, Prabhasa,
Pratyusa.
Karena karya Waruna inilah maka langit dan
bumi dipisahkan, pelajaran matahari, bulan, dan bintang teratur, sungai-sungai
mengalir dengan baik, musim-musim datang pada waktunya dan sebagainya. Selain
itu Rta juga dipandang sebagai tata tertib susila. Sebagai pengawas rta, Waruna
juga memberikan hadiah atau pahala kepada yang baik dan menghukum kepada
yang jahat. Orang yang baik ialah orang yang mengikuti hukum Rta.
Dewa yang lain ialah Surya, yang digambarkan sedang berkereta ditarik oleh 7
ekor kuda. Dewa ini dapat memperpanjang hidup, mengusir penyakit dan
sebagainya.
Dewa Wisnu juga termasuk dewa langit, tetapi pada zaman ini belum memegang
peranan yang penting. Tentang dewa ini hanya disebutkan, bahwa ia melangkahkan
tiga langkah. Langkah yang ketiga itulah langkah yang tertinggi. Itulah sorga
tempat kediaman para dewa-dewa.
Yang termasuk dewa-dewa angkasa di antaranya adalah Indra, yang merupakan dewa
terpenting. Seperempat kidung dalam Rg-Weda ditujukan kepadanya. Indra adalah
Raja para dewa ia adalah dewa hujan yang bersenjatakan petir, dewa langit
pengumpul awan dan dewa kemenangan. Ia juga bernama Surapati (sebagai
raja para dewa), Vrtahan (sebagai dewa hujan yang membunuh naga Vrta
yang menyembunyikan air dalam gua selam musim kemarau). Indra sering diletuskan
secara antropomorfis : mempunyai tubuh, tangan, kaki, bibir, rahang, dan
jenggot. Indra diyakini sebagai dewa yang selalu melepaskan air yang member
hidup yang kemudian mengalir kesamudra dan dalam perjalanannya selalu
memperkaya dan mempersubur bumi.
Setelah Indra dewa yang terpenting adalah Agni yang dianggap sebagai
perantara dewa dan manusia. Dewa inilah yang meneruskan puji-pujian dan kurban
bakar kepada para dewa yang dimaksud, Agni pula yang mendatangkan para
dewa ketempat-tempat sesaji dengan bunyi-bunyian dalam arti. Setiap rumah orang
Hindu biasanya mempunyai tiga macam api yaitu : untuk upacara harian (agnihotra)
dan sampai saat ini masih terdapat dikalangan keluarga Pandit yang ortodoks
; api untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan
purnama dan api untuk upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur.
Mengenai upacara-upacara masih ada lagi upacara yang dilakukan empat bulan
sekali upacara lainnya adalah upacara pengangkatan Altar api yang disebut
dengan Agnicayana, biasanya dilakukan menggunakan sebongkah batu yang
berbentuk seekor burung.
Selanjutnya dewa yang terpenting setelah agni adalah Soma, dewa
minuman keras, yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut Soma
pula. Soma adalah minuman para dewa. Dalam upacara korban Soma dituangkan
sebagai persembahan kepada para dewa. Hal yang agak aneh ialah rasa hormat yang
luar biasa bukannya ditujukan kepada objek kritus itu sendiri tetapi hanya
kepada kekuatan Soma itu saja. Cairan sari tanaman Soma sangan memabukkan dan
digunakan untuk memperdaya dewa, orang-orang yang memujanya meminum cairan ini.
Karena minuman ini sangat memabukkan maka tentu akan mempegaruhi pandangan
orang yang terlibat dalam upacara. Dalam berkembangan selanjuttnya Soma bukan
hanya disamakan sebagai kekuatan saja, tetapi kemudian menjadi personifikasi
dari bulan yang selanjutnya diidentikkan dengan dewa Waruna yang berkuasa di
sorga. Bulan adalah tempat cairan soma yang dianggap sacral dan kebeningannya
yang indah berkilau karena sinar sorga dianggap sebagai sari penting dari raja
langit.
Dewa penting setelah agni adalah Waruna atau Aditya, putra Adity, dewi
kebaikan. Berkat kerja Waruna maka langit, matahari, bulan dan bintang dalam
tata surya dapat bekerja dengan baik dan sebagaimana mestinya. Sungai-sungai
mengalir dan musim silih berganti selaras dengan cosmos (alam) lain oleh karena
itu dosa adalah menyalahi tata tertib cosmos, dan agar kembali normal perlu
dilakukan sesembahan kurban dan sesaji.
Sesudah dewa Waruna, ada beberapa dewa lain yang masing-masing kurang jelas
urutan kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (dewa matahari), Wisnu,
si kembar Aswin atau Nasatya (dewa alam pagi hari) yang
kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas (dianggap sebagai dewa fajar), Merut
(dewa taufan dan angin rebut), Rudra (dewa taufan dan petir), Parjanya
(dewa hujan), dan Saraswati (dewa sungai yang kemudian dianggap
sebagai dewi ilmu pengetahuan). Dewa-dewa penting sebagai personifikasi
kekuatan alam adalah dewa Prajapati (penguasa alam dan segala makhluk), Wiswakarman
(dewa pencipta), Brhamanaspati atau Braspati (dewa
personifikasi pembuatan manusia alam sesaji), Widhatar (dewa guntur).
Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali dewa, namun ia tidak dapat
dikatakan politeistis karena ternyata dewa tertentu yang sedang dipuja selalu
dianggap sebagai dewa tertinggi yang memiliki segala kekuatan para dewa
yang lain. Dengan demikian yang ada hanya satu dewa tertinggi saja yang
memiliki kekuatan para dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu
barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteistik
(henoteisme). Max Miller juga menghindari istilah monoteisme atau politeisme
dalam ketuhanan agama Hindu. Ia menggunakan istilah “henoteisme” karena ada
kecenderungan melukiskan semua kekuatan pada tuhan tertentu dan utama yang ada dalam
pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan yang
Lenoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteistik
(kathenotheism) karena dalam agama ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan
dan mengagungkan hanya satu dewa yang maha tinggi yang diperlakukan sebagai
objek tunggal, akan tetapi dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.
2.
Roh-Roh (Jahat)
Menurut kepercayaan Weda kuno, selain para dewa masih ada
lagi roh-roh jahat. Roh jahat ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi
musuh para dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau
(Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaanya adalah Raksa dan Pisaca (pemakan
bangkai). Raksa sering menampakkan diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi
roh “halus” seperti gandarwa, yaksa, bhuta, dan raksasa.
Arwah leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan
agama Weda ini. Apabila orang meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam
bahagia tetapi masih mengembara dalam keadaan menderita. Jiwa semacam ini
disebut dengan preta, dan sangat membahayakan. Oleh karena itu
keturunannya, anak cucu terutama anak laki-lakinya, perlu mengadakan upacara
sesembahan dan menyelenggarakan upacara korban supaya preta segera sampai
kealam bahagia yaitu alam pitara. Raja para pitara adalah dewa Yama.
3.
Korban dan Praktek Keagamaan
Korban
Setiap yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu adalah
perwujudan dari pengamalan ajaran agama. Karena itu setiap aktivitas beryadnya
termasuk dalam sebutan “upacara agama”. Dasarnya, bahwa setiap pelaksanaan
yadnya didasari atas sumber hukum berupa kitab suci Weda baik dalam katagori
Sruti (wahyu) maupun Smrti (tafsir wahyu).
Weda Sruti sebagai sumber dari segala pelaksanaan ajaran agama Hindu. Sedangkan
Weda Smrti merupakan penjabaran suratan Weda yang sudah disiratkan.
Kongkretnya lagi, Weda Sruti sebagai rumus-rumus agama
sementara Weda Smrti berperan selaku kamus-kamus petunjuk pelaksanaannya. Apa
yang kemudian disebut sebagai upacara adat sebenarnya merupakan bentuk-bentuk
tafsir ajaran Weda yang ditradisikan. Inilah yang diistilahkan sebagai tradisi
Weda, artinya suatu bentuk kegiatan atau aktivitas suatu masyarakat (mis.
Bali), yang berdasarkan atas ajaran agama Hindu yang sudah men-desa-kala-patra.
Lebih sederhananya lagi upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di
Bali merupakan bentuk penjabaran Weda menurut nuansa tradisi. Tetap ingat,
tidak semua tradisi masyarakat Bali itu dapat disebut sebagai upacara adat.
Yang dapat disebut upacara adat hampir selalu dicirikan oleh
nuansanya yang agamais. Atau dengan kata lain upacara adat itu adalah tradisi
yang dijiwai oleh unsure-unsure keagamaan. Contoh : upacara ngaben, penggunaan
wadah, jempana, lembu merupakan tradisi yang hanya dibuat oleh masyarakat Hindu
di Bali. Sedangkan esensi keagamaannya terlihat pada upacara pembakaran mayat
dengan konsep mempercepat proses pengembalian (pemralina) unsure-unsure
Pancamahabutha sang mati. Unsure agama lainnya, doa, japa, mantra dan yadnya
yang digelar sebagai pengantar, pengharap agar arwah sang mati mendapat jalan
lapang sesuai karma dan bhaktinya menuju alam-Nya.
Perihal bunyi kitab suci Bhagavadgita IX.26 yang meyebutkan
sarana persembahan berupa bunga, buah, air dan daun yang tidak bersifat
mengikat tetapi kenyataannya masih diatur lagi sehingga tidak semua jenis bunga
misalnya yang dapat dipakai sarana upacara atau upakara yadnya dapat diberi penjelasan
dengan membandingkan di sekala. Untuk itulah ada buku atau lontar yang
menjabarkan tentang jenis bunga yang bisa dan tidak dipakai dalam persembahan.
Yang pasti setiap sarana persembahan patut mengacu pada persyaratan seperti :
Sukla (belum pernah diaturkan), tan leteh (tidak bernoda atau cemar), tidak
didapat dari perbuatan jahat (mencuri) dan sesuai dengan sastra (petunjuk
lontar) serta dresta (tradisi).
Umat Weda memulaikan para leluhur mereka dengan
menyelenggarakan upacara korban, upacara korban, yang selain dilakukkan dengan
harapan supaya para dewa melindungi manusia dari roh jahat, juga supaya para
dewa memberikan kelancaran, kemurahan serta ketentraman. Tujuan utama upacara
korban dalam agama Weda ini ialah terjaminnya tata tertib kosmos.
Dua macam upacara korban simbolik yang penting ialah :
pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik
dalam kitab Rg-Weda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani
korban untuk penciptaan dan kedua adalah korban sarwameda di mana
manusia mengakui ke maha kuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa
melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.
Selain itu masih ada korban Rajasanya, korban untuk
pengobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarakan dengan upacara yang disebut
Aswemeda. Untuk keperluan sehari-hari korban dilakukan oleh kepala
keluarga yang diselenggarakan di api keluarga. Ada pula upacara korban yang
diselenggarakan di rumah-rumah atau di altar. Dari segi penyelenggaraan, korban
yang dilakukan hanya oleh seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan.
Biasanya korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang
sangat diutamakan biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah
menyitir bait-bait yang terdapat dalam Rg-Weda. Pendeta Adwaryu juga
penting karena dalam penyelenggaraan korban ini diperlukan
persiapan-persiapan yang cermat.
Di kalangan rakyat umum terdapat beberapa upacara korban
sebagai upacara siklus kehidupan. Di beberapa tempat, upacara
tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang sangat
sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh
pemilik rumah selaku penanggungjawab anggota keluarganya. Upacara ini juga
mementingkan api.
Praktek
Keagamaan
Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang pada zaman ini ialah kurban.
Kurban-kurban itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan
dewa-dewa, menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan memuja para
leluhur.
Pada hakikatnya kurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa itu bersifat
permohonan, yaitu mohon keuntungan-keuntungan bagi hari depan, sehingga kurban
ucapan syukur bagi hal-hal yang sudah dialaminya tidak ada.
Dengan kurban itu mereka bermaksud untuk menggerakkan hati para dewa sehingga
mereka berkenan mengabulkan permohonan yang diajukan bersamaan dengan
kurban-kurban itu.
Ada dua macam kurban, yaitu kurban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada
waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi,
musim hujan, dan musim dingin.
Disamping itu ada kurban berkala,yang dikurbankan jika ada keperluan,
umpamanya kurban sama, aswameda atau kurban kuda, rajasuya, dan
sebagainya.
Kecuali kurban-kurban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan
orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4
bulan, yaitu waktu diajak berpergian untuk pertama kali, atau juga waktu anak
makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan
sebagainya. Demikianlah seluruh kehidupan orang pada zaman itu diliputi oleh
upacara-upacara keagamaan.[14]
Zaman Klasik
Spekulasi
canggih serta mistisisme intelektual ternyata tidak dapat
spekulasi aspirasi religius manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi
sekelompok kecil arif-bijaksana yang memisahkan diri dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
(a) Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja
yang baik.
(b) Interprestasi
yang rasuonal terhadap masalah kehidupan manusia.
(c) Penolakan terhadap ritualisme serta menghormati
kehidupan dunia hewan.
(d) Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada
siapa manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.
Jika para pertapa dan arif- bijaksana membimbing
beberapa murid dalam menjalankan mistisisme metafisis, maka kasta Brahmana
mengembangkan teks-teks ritual rumit yang dikenal sebagai sutra. Reaksi
populer tervermin dalam gerakan-gerakan seperti buddhiesme, Jainisme,
Shaivisme, dan Vaishnavisme.
Menurut Arvind Sharma, terdapat dua bentukreaksi
terhadap ritual qorban model Weda, yakni eksterbal dan internal. Teks-teks
Upanishad yang mengkritisi tradisi sebelumnya, namun masih tetap
mendudukkan serta mengidentifikasikan diri dengan Weda. Namun pada abad ke-6
S.M., muncul dua gerakan utama yang mendudukkan diri mereka di luar kekolotan
hukum Weda, yakniBuddhisme dan Jainisme. Dalam menghadapi tantangan inilah
Hinduisme lantas memulai meredefinikasi dirinya. Buddhisme dan Jainisme memang
menolak otoritas atau tradisi weda, terutama mengenai komitmen terahadap tujuan
serta kehidupan duniawi, instuisi kasta dan tahap-tahap kehidupan, paling tidak
sebagian, jika tidak seluruhnya. Hinduisme merumuskan dirinya dalam menghadapi
tantangan ini, dengan menyatakan validalitas weda serta hukum kasta (varna)
dan tahap-tahap kehidupan (asrama). Pada mulanya gerakan Hinduisme dan
Jainisme menarik banyak perhatian orang dan menjadi kekuatan yang cukup besar.
Jika kita melihat bukti-bukti arkeologis dari abad ke-2 S.M, ,aka bukti
menunjukkan bahwa gelombang pasang sedang memihak kepada Hinduisme, dan
sejumlah besar orang asing yang masuk ke India pada waktu itu juga menjadi pengikut
Budhisme.
Namun lambat laun gelombang pasang tersebut berbalik.
Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar 300 M, memberikan tanda
kebangkitan kembali Hinduisme. Pada abad lke- 3 sampai abad ke-10, Hinduisme
telah berhasil secara gekilang mendudukkan diri sebagai agama dominan di India.
ketika Fa Hsien mengunjungi India pada abad ke-4,
Buddhisme memang sedang berkembang, dengan pesat, tetapi tanda-tanda
kebangkitan Hinduisme juga sudah tampak jelas. Demikian juga dari catatan I
Ching yang kemudian juga berkunjung ke India. Kemudian Hsuan-Tsang meminta agar
kutipan dari Rig-Weda dikirim kepadanya setelah ia kembali ke cina, dan seorang
raja Hindu memintanya untuk menerjemahkan Tao Te Ching ke dalam bahasa
Sansekerta. Hal ini membuktikan adanya interaksi baik antara Hinduisme dan
Buddisme, yakni: antara India dan Cina pada saat itu. Kebangkitan
Hinduisme di masa Klasik terkait erat dengan kebangkitan dan kesadaran akan
Weda, yang secara grafis digambarkan lewat imajinasi raksasa seekor babi yang
meruoakan inkarnasi dewa Wishnu, yang menyelamatkan bumi dari kejatuhannya.
Buddhaisme dan Jainisme
Bersama-sama dengan kaum Materialis (Carvaka), ketiga
aliran ini disebut nastika, artinya tidak menerima otoritas Weda. Mereka juga
dimasukkan ke dalam golongan ‘heterdoks’ (tidak-ortodoks). Sedangkan
ke-enam aliran filsafat (shad-Darsana) yang disebut astika adalah yang menerima
otoritas Weda disebut juga sebagai golongan ‘ortodok’. Keduanya mengajarkan
doktrin etika yang menekankan kesucian lehidupan hewani, sehingga berada di
luar jangkauan Hinduisme kolot, karena penolakan mereka terhadap Weda sebagai
kitab suci. Kita akan membahas kedua aliran ini di bagian belakang buku in.i
Shaivisme dan Vaishnavisme
Kedua
aliran ini merupakan gerakan teistik yang sulit dilacak asal-usulnya dan
memainkan peranan sangat penting dalam perkembangan Hinduisme berikutnya.
Shaivisme atau agama shiva tampaknya dimulai sekitar abad ke-6 S. M. Dengan
menyembah dewa Rudra dalam kitab Weda. Namun segera dewa Rudra digantikan
oleh shiva yang merupakan dewa kaun non-Aryan. Shiva dapat masuk kedalam tubuh
yang sudah mati serta muncul dalam wujud manusia unutk mewahyukan agama baru.
Doktrin devosi (Bhakti) yang diajarkan dalam Bhagavata dikatakan
telah diwahyukan oleh Vasudeva-Krisna. Ajaran ini disebut ‘Agama devosi
tunggal’ (akantika-Dharma). Hal ini terkait dengan Bhagavad-Gita yang ditulis
sekitar abad ke-4 atau ke-3 S.M. Ajaran Gita ditulis secara terpisah sebagai
bab tersendiri. Kemudian Vasudeva-Krisnadiidentifikasikan dengan dewa Wishnu
dan seluruh gerakan berkembang menjadi agama Wishnu (Vaisnavism). Kedua
epos, yakni Mahabharata dan Ramayana kemudian menjadi sarana
pemikiran religius serta devosi bagi masyarakat.
Dalam
Mahabharata, terdapat gambaran tentang perkembangan agama Shiwa dan agama
Wishnu yang mengkristal dalam cerita epos. Rama sebagai tokoh utama dalam epos Ramayana
dibuat menjadi jelmaan (avatara)dari dewa Wishnu dan teks Ramayana
lantas menjadi teks suci kaum Vaishnavisme.
Perkembanga agama populer membentuk sebuah
tantangan bagi tradisi ritual Weda serta mistisisme metafisis awal. Untuk
memenuhi tantangan ini, maka para ritualis dan metafisikawan mulai merumuskan
serta menyistemkan ini melahirkan berbagai sistem filsafat India. Ada enam
sistem (Shad-Darshana), yakni: Nyanya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga,
Purva-Mimamsa dan Vedanta.
Sekitar 2500 S.M. sudah terdapat
corak penghidupan manusia dengan kebudayaan yang cukup tinggi di anak benua
India dengan penghidupan secara berkelompok di kota-kota di daratan Indus
dengan pusat-pusatnya di Mohenjodaro, Harappa dan juga di daerah-daerah lain
seperti di Gujarat dan Rajasthan. Dari segi ilmu sejarah, tidak banyak terdapat
peninggalan bahan-bahan atau tulisan-tulisan tentang zaman purbakala di India.
Zaman Permulaan
Sekitar 1500 S.M. datanglah ke anak benua India bangsa-bangsa yang semula
mendiami daerah-daerah sekitar Laut Kaspia, yang dalam sejarah India dikenal
sebagai bangsa Arya atau Indo-Arya. Bangsa Arya ini mula-mula menetap di daerah
Punjab (India Barat Laut) yang kemudian meluas ke daerah sungai Gangga dan
daerah-daerah lain di India. Mereka membawa kepercayaan, filosofi dan
kebudayaan mereka ke India, yang kemudian menyatukan diri dengan kebudayaan di
India pada waktu itu.
Lama kelamaan mereka berhasil mencapai taraf peradaban dan kebudayaan yang
tinggi dengan menemukan suatu bahasa, yang kemudian dikenal dengan bahasa
Sanskrit, yang mereka pergunakan dalam nyanyian-nyanyian keagamaan mereka yang
dinamakan dengan “Rigveda” untuk memuja dewa-dewa dan kepercayaan mereka.
Zaman Arya ini menyaksikan lahirnya kerajaan-kerajan di India dan masa ini
berlangsung sampai abad ke-7 S.M. Pada abad ke-6 S.M. terjadilah pernyebuan ke
India oleh bangsa-bangsa Parsi, yang karena kebudayaan dan teknik mereka yang
lebih tinggi berhasil menduduki dataran India dengan membawa arsitektur dan
cara penghidupan mereka. Zaman Parsi ini juga dinamakan dengan zaman empirium
(Period of Empires) dalam sejarah India, dengan berdirinya empirium-empirium
seperti Magadha dengan raja-raja Bimbisaura dan Ajatasatru. Pada abad ke-6
inilah lahir Budha Gautama dan Mahavira. Zaman Parsi ini juga membuka
perhubungan lalu lintas antara India dengan negara-negara di sebelah
baratnya.
Pada tahun 326 S.M. pasukan-pasukan Iskandar yang agung menyerbu India dan
berhasil menduduki daerah India Barat Laut. Meskipun tidak meninggalkan
pengaruh politik yang besar, tetapi nyatanya untuk waktu yang cukup lama,
mitologi dan kebudayaan di bagian Barat Laut India banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Yunani.
Pasukan-pasukan Iskandar yang agung akhirnya dapat dikalahkan oleh Raja Chandra
Gupta. Cucu Chandra Gupta, yaitu Ashoka menjadi raja yang sangat terkenal dalam
sejarah India. Raja Ashoka ini yang secara terus-menerus telah mengalami kepahitan
perang akhirnya memeluk agama Budha dan dibawah pemerintahannya banyak
mengirimkan misi-misi agama dan kebudayaan ke negara-negara di Asia Selatan,
Timur dan Tenggara. Dan dalam masa 900 tahun berikutnya, India mengalami zaman
perdamaian dimana kerajaan-kerajaan dapat berkembang, yang pada masa sekarang
ini masih dapat dilihat sisa-sisanya dalam bentuk pemahatan batu dan
candi-candi.
Zaman Pertengahan
Pada abad ke-8 pedagang-pedagang Islam dari Asia Barat datang ke India.
Pengaruh agama dan kebudayaan Islam meluas ke seluruh India dan pada abad ke-13
berdirilah Kesultanan Delhi yang melahirkan suatu dinasti Islam di India selama
beberapa abad lamanya. Berdirinya Kesultanan Delhi pada abad ke-13 ini, dalam
sejarah India dianggap sebagai permulaan zaman pertengahan dan dimulainya Zaman
Mughal.
Penyatuan kebudayaan Islam dan Hindu membawa kejayaan bagi India yang tercermin
dalam seni, sastra, bahasa dan arsitekturnya. Pada abad ke-13, 14 dan 15
tersebut, India menyaksikan lahirnya pujangga-pujangga besar seperti Amir
Khusrau dan raja-raja besar yang telah memerintah India dengan arif dan
bijaksana seperti Akbar (disebut juga sebagai The Greatest Mughal Emperor) dan
Shahjahan, dua orang raja Mughal yang sangat terkenal. Hingga sekarang masih
tampak dengan jelas peninggalan-peninggalan Islam di India dengan terdapatnya
mesjid-mesjid dan makam-makam Islam di seluruh India seperti Taj Mahal dan lain
sebagainya.
Kemunduran Islam di India terjadi pada tahun 1707 setelah wafatnya Raja Aurangzeb.
India terpecah belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang saling bermusuhan dan
berperang, yang memudahkan bangsa-bangsa Barat masuk ke India. Dalam sejarah
India, Bahadur Shah Zafar dianggap sebagai penguasa dinasti Mughal yang
terakhir. Ia pernah melancarkan pemberontakan terhadap Inggris, tetapi
pemberontakan tersebut dapat ditindas Inggris pada tahun 1857.
Zaman Penjajahan
Orang Barat pertama yang menginjakkan kakinya di India ialah Vasco de Gama pada
bulan Mei 1498 di Kalikut, tetapi ia tidak berhasil untuk menetap di sana.
Kemudian usaha tersebut diulanginya pada tahun 1501 dan berhasil mendirikan
tempat kedudukan bagi Portugis di Kannanore, Kochin dan Kalikut. Bangsa-bangsa
barat lainnya seperti Spanyol, Belanda dan Inggris berturut-turut datang ke
India dengan maksud yang sudah cukup terkenal dalam sejarah bangsa-bangsa Barat
di Asia. Dengan keadaan yang sudah terpecah-belah diantara bangsa-bangsa di
India sendiri, maka orang-orang Barat tersebut berhasil menduduki tempat-tempat
penting di pantai selatan India yang kemudian melebar dan akhirnya Inggris
jualah yang memenangkan kekuasaan di anak benua India.
Kekuasaan Inggris di India dimulai dengan berdirinya English East India Company
pada tahun 1600 yang semula lebih bersifat dagang, dan kemudian dibarengi
dengan penguasaan secara fisik dan politis, yang mencapai puncaknya dalam
pertempuran Buxar pada tahun 1756 melawan raja-raja India. Kemenangan Inggris
dalam pertempuran itu membuat Inggris berhasil menguasai daerah-daerah
Benggala, Bihar dan Orissa yang kemudian dalam kurun waktu yang kurang dari
setengah abad disusul pula dengan penguasaan terhadap daerah-daerah lain di
India.
Pada tahun 1824 Pemerintah Inggris mengambil alih kekuasaan terhadap English
East India Company dari India dan dengan demikian secara mutlak mendudukkan
kekuasaannya terhadap negara ini. Meskipun demikian, Inggris masih mengizinkan
berdirinya kerajaan-kerajaan kecil yang dikepalai oleh pangeran-pangeran.
Inggris juga menempatkan seorang Gubernur Jenderal di India sebagai Wakil
Mahkota dan Pemerintahnya. Ahli-ahli sejarah India menganggap zaman penjajahan
Inggris tersebut sebagai suatu proses modernisasi yang menguntungkan bagi
penyatuan seluruh wilayah India secara politis dan administratif dan berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat. Demikian juga
menjelang abad ke-19 diletakkan dasar-dasar pembangunan industri serta
peningkatan lembaga-lembaga pendidikan di
India.
.
Gerakan kemerdekaan dan perasaan kebangsaan India mulai timbul pada pertengahan
abad ke-19 dengan meletusnya suatu pemberontakan yang dipimpin oleh raja-raja
India pada tahun 1857, tetapi berhasil ditindas oleh Inggris. Gerakan
kemerdekaan tersebut mencapai suatu bentuk yang lebih nyata dengan berdirinya
Indian National Congres pada tahun 1885 yang pada tahun 1905 menuntut
diadakannnya “Swaraj” (self-rule): dari-oleh-untuk bangsa
India.
Kemudian pada tahun 1906 didirikan pula Indian Muslim League untuk menyatukan
dan menjamin kepentingan-kepentingan orang Islam di India. Dari sinilah
sebetulnya awal permulaan lahirnya negara Pakistan.
Demikianlah selama kurang lebih setengah abad lamanya, gerakan kemeredekaan
India menuntut kemerdekaan penuh bagi India. Pemimpin-pemimpin terkenal dalam
gerakan ini antara lain ialah Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru dan Mohd. Ali
Jinnah. Pada tahun 1935, Inggris mengumumkan “The Government of India Act” yang
merupakan Undang-Undang Dasar untuk pemilihan dewan-dewan perwakilan di
negara-negara bagian. Banyak kedudukan dalam dewan-dewan tersebut dimenangkan
oleh National Congress dan Muslim League.
Dan pada tahun 1940, untuk pertama kalinya, Muslim League menuntut satu negara
khusus untuk orang-orang
Islam.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, tuntutan kemerdekaan makin mendesak
kepada Pemerintah Inggris yang menghasilkan dibentuknya suatu Constituent
Assembly, tetapi Muslim League tidak bersedia ikut serta dalam Constituent
Assembly ini dan tetap menuntut dibentuknya suatu negara tersendiri bagi
penduduk Islam India. Tuntutan kaum Muslim itu akhirnya dipenuhi oleh Inggris
dengan pembentukan negara Pakistan. Pada tanggal 15 Agustus 1947, Inggris
memberikan kemerdekaan kepada India dan Pakistan.
Zaman Kemerdekaan
Setelah berhasil menanggulangi dua masalah besar pada awal kemerdekaannya,
yaitu perpindahan penduduk secara besar-besaran akibat terpecahnya bekas
jajahan Inggris ini menjadi India dan Pakistan serta masalah pengintegrasian
k.l. 600 kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh pangeran-pangeran ke
dalam Negara Kesatuan India, India mulai menyusun kerangka kehidupan
kenegaraannya dalam bentuk suatu Undang-Undang Dasar yang mulai berlaku pada
tanggal 26 Januari 1950. Sejak tanggal ini pula India resmi menjadi Republik India
dengan Presiden sebagai Kepala Negaranya dan Perdana Menteri sebagai kepala
Pemerintahannya.
Salah satu tujuan India adalah untuk mencapai kemerdekaan ekonomi yang
diusahakan melalui pembangunan ekonomi dan sosial berencana melalui berbagai
Repelita yang dimulai sejak April 1951. Dalam masa lebih dari 30 tahun ini
India telah berhasil membangun industri-industri berat dan mendidik
tenaga-tenaga teknologi yang menjadi landasan untuk pembangunan
industri-industrinya lebih lanjut (seperti: mobil, pesawat terbang, tank dan
persenjataan, mesin-mesin dan generator-genarator berat, kereta api dan
sebagainya). Selain itu dalam beberapa tahun terakhir ini India juga telah
berhasil mencukupi kebutuhannya sendiri akan bahan-bahan pangan.
Disamping prestasi-prestasinya tersebut, India masih menghadapi berbagai
tantangan dalam pengintegrasian nasional, seperti usaha penerapan bahasa Hindi
sebagai bahasa nasional, pertentangan komunal (Hindu-Muslim) dan bahkan
pertentangan antar kasta yang belum kunjung
selesai.
Sejak kemerdekaannya, India beberapa kali mengalami konflik bersenjata dengan
negara-negara tetangganya, yaitu antara lain dengan RRC tahun 1962 mengenai
soal perbatasan dan dengan Pakistan tahun 1971 yang berakhir dengan perubahan
status Pakistan Timur menjadi negara Bangladesh.
Zaman Modern zaman Kemerdekaan
India
Pengaruh
kebudayaan Barat memberikan dampak menentukan bagi Hinduisme. Walaupun
Hinduisme popular dan tradisional tetap menguasai masyarakat umum,
namun orang-orang terpelajar sangat – sangat dipengaruhi oleh
ide-ide baru yang datang dari Barat. Rasionalisme dan
Positivisme cukup memikat pikiran orang-orang yang tidak puas dengan
Hinduisme tradisional. Berbagai gerakan reformasi dimulai, dimana Brahmo-Samaj,
Arya-Samaj,dan Ramakrisna Mission merupakan gerakan yang
paling penting , Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan
dengan Barat telah membuat penganut Hinduisme lebih sadar akan
keniscayaan untuk menjaga nilai-nilai tradisional Hinduisme, walaupun
mereka harus menyesuaikan diri dengan melintas modern.
Masuknya
orang-orang Inggris sebagai penjajah membuat Hinduis memenghadapi situasi yang
berbeda secara kualitatif. Serta masuknya penguasa Inggris mengurangi
kekuatan Islam, namun Hinduisme harus menghadapi sebuah kekuatan baru,
yakni agama Kristen.Pada saat yang sama, Hinduisme dihadapkan dengan
sebuah ancaman baru, yakni: saina, sekularisme dan humanisme.
Justru melalui inisiatif orang-orang Barat, pengetahuan tentang Hinduisme
ditemukan kembali dan termasuk studi atas kitab Weda. Dampak bagi pengikut
Hinduisme tampak dari pernyataan orang seorang tokoh nasionalis seperti
Swami Vivekananda bahwa Max Muller yang mengedit Rig-Weda
dimasa modern mungkin adalah reinkarnasi dari Sayana di masa kerajaan
Vijayanegara.
Walaupun ada
sejumlah unsur yang dipertimbangkan untuk menjelaskan kebangkitan kembali
Hinduisme setelah tahun 1800, namun dari sisi Hinduisme sebagai
system religious, orang harus mengenali peran Weda dalam
proses tersebut. Pada masa reformasi awal, justru issu tentang Weda dan
otoritas Weda muncul kembali kepermukaan. Tokoh reformasi
Hindu pertama adalah Raja Rammohun Roy berusaha
untuk membenarkan monoteisme yang berbasis Vedanta. Sekitar
1830, dia mendirikan gerakan Brahmo Samaj di
wilayah Bengal untukmelanjutkan perjuanganya.Kemudian di akhirabad ke-19, Swami
DayanandaSaraswati mendirikan gerakan Arya Samaj di Bombay,
memperkuatkeabsolutan Weda yang telah dicetuskan oleh gerakan Brahma
Samaj.
Menjelang akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, perkembangan Hinduisme mengalami sebuah proses
pembalikan. Pada perkembangan sebelumnya, tradisi Hinduisme memperkeras
posisinya untuk mempertahankan otoritas Weda karena di bawa tekanan
Buddhisme, Jainis medan Materialisme. Di masa modern, walaupun Hinduisme
sekali lagi mendapat tekanan dari sumber Kristiani yang
rasional, modernis, dan reformis, Hinduisme tidak bereaksi dengan cara
yang sama. Hinduisme sekarang meninggikan religious di atasotoritas
religious dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda. Sri Ramakrisna kadang kala
melakukan penolakan terhadap Weda dan hanya menggunakanya sebagai simbul.
Kemudian Swani Vivekananda juga pada saat tertentu meremehkan
otorita Hindu berkata: “Jika saya mengutip sebuah teks dari Weda dan
memberikan arti yang tidak masuk akal… maka semua orang bodoh akan mengikuti
saya”. Dia tidak ragu untuk mengatakan ini dalam ceramah-ceramahnya.
Hampir semua tokoh-tokoh religius India di masa Modern seperti B.G.Tilak
(1856-1920), R.Tagore (1861-1941), Sri Aurobindo (1872-1950), dan Mahatma
Ghandi(1869-1948) ... semuanya mengambil inspirasi mereka dari Weda, walaupun
bukan otoritas Weda, dan bahkan Sri Ramana Maharshi (1879-1950)
mewajibkan pembacaan Weda secara teratur di ashram Tiruvannamalai.
Dr. Harun Hadiwijono, Agama Hindu
dan Budha. Jakarta h. 18
Michael Keene, Agama-agama Dunia,
Kanisius press.yogyakarta. h. 15
H.A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
H.A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
(gambar peradaban Lembah sungai Indus. Setelah mendiami areal seluas
ukuran Eropa barat di wilayah yang sekarang Pakistan dan India barat, daerah
itu dihuni sejak tahun 7000 SM. Meskipun menjadi salah satu peradaban kuno
terbesar, tidak banyak yang diketahui tentang peradaban Harappa, terutama
karena bahasa mereka belum bisa diterjemahkan.)
Peradaban Lembah Sungai Indus,
2800 SM–1800 SM, merupakan sebuah peradaban kuno yang hidup sepanjang Sungai
Indus dan Sungai Ghaggar-Hakra yang sekarang Pakistan dan India Barat.
Peradaban ini sering juga disebut sebagai Peradaban Harappan Lembah
Indus, karena kota
penggalian pertamanya disebut Harappa, atau juga Peradaban Indus
Sarasvati karena Sungai Sarasvati yang mungkin kering pada akhir 1900
SM. Panjang Sungai Indus kurang lebih 2900 kilometer. Pemusatan terbesar dari
Lembah Indus berada di timur Indus, dekat wilayah yang dulunya merupakan Sungai
Sarasvati kuno yang pernah mengalir.
Sisa peradaban Lembah Sungai Indus ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu
Mohenjodaro dan Harappa. Kebudayaan Indus ini didukung oleh bangsa Dravida yang
berbadan pendek, berhidung pesek, berkulit hitam, berambut keriting. Kebudayaan
Indus berhasil diteliti oleh seorang arkeolog Inggris, Sir John Marshal, yang
dibantu Banerji (orang India).
Mata pencaharian bangsa Dravida adalah bercocok tanam, yang
dibuktikan dengan ditemukannya cangkul, kapak, dan patung Dewi Ibu yang
dianggap lambang kesuburan. Hasil pertanian berupa gandum dan kapas. Sudah ada
saluran irigasi untuk mencegah banjir serta untuk pengairan sawah-sawah rakyat.
Dalam perdagangan terlihat adanya hubungan dengan Sumeria di Lembah Eufrat dan
Tigris, yang diperdagangkan adalah keramik dan permata.
Perkembangan kepercayaan Lembah
Sungai Indus.
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah
mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi
suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran
jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak
terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke
dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar,
disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah
tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja
orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak
lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang
lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan
pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk.
Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi
binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan
lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada
materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan
adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan
seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.Sudah
mengenal sistim kepercayaan menyembah banyak dewa (politeisme) serta segala
sesuatu yang dianggap keramat. Contohnya adalah pohon pipal dan beringin yang
oleh umat Buddha dianggap pohon suci, binatang yang dipuja adalah gajah dan
buaya.
Kita tidak tahu banyak tentang
peradapan Lembah Indus. Namun, patung-patung para dewi yang dibuat pada
zamannya memberi kesan bahwa orang-orang Lembah Indus sangat menekankan
pentingnya kesuburan wanita. Beberapa dewa dan dewi Hindu, seperti Shiva,
mungkin merupakan keturunan dari para dewi yang hidup pada zaman sebelumnya.
A.
Periodisasi Sejarah Agama Hindu
Agama
Weda
Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, didalam mendekati dan
menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam.
Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam.
Zaman Weda, merupakan zaman sejak masuknya bangsa Arya di Punjab hingga
timbulnya agama Budhha pada kira-kira tahun 500 SM. Zaman ini dapat dibagi lagi
menurut pertumbuhan kitab-kitab yang menjadi sumber hidup keagamaan pada zaman
ini, menjadi :
a. Zaman Weda purba atau zaman Weda
Samhita, dimulai dari tahun 1500 SM hingga kira-kira tahun 1000 SM. Pada zaman
ini bangsa Arya massih berada di Punyab, yaitu daerah Sungai Indus atau Sindhu.
Di sini belum banyak terdapat penyesuaian diri dengan peradaban India purba.
b. Zaman Brahmana, kira-kira tahun 1000 SM hingga
kira-kira tahun 750 SM. Pada zaman ini para imam, yaitu para Brahmana, sangat
berkuasa dan menimbulkan kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya
dibandingkan dengan kitab-kitab Weda Samhita. Sekarang penyesuaian diri dengan
peradaban India purba sudah lebih maju, sehingga timbul jiwa baru.
c. Zaman Upanisad, tahun 750 SM hingga
tahun 500 SM. Pada zaman ini pemikiran secara falsafah mulai berkembang. Pusat
peradaban berpindah dari Punyab ke Lembah Gangga.
Pada zaman ini kehidupan keagamaan
orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang
disebut Weda Samhita, yang berarti perkumpulan Weda.
Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). Menurut tradisi
Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan
oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta dalam bentuk mantra-mantra,
yang kemudian disusun sebagaian puji-pujian oleh para resi tadi sebagai
pernyataan rasa hatinya.
Unsure-unsur
dasar agama Weda :
1. Percaya dan takut kepada daya-daya
kekuasaan
2. Ritus untuk mempengaruhi daya-daya
kekuasaan
3. Kesadaran akan adanya tata tertib
kosmos
4. Kecenderungan kepada mistik
Sejak zaman dahulu orang memberi penghargaan yang istimewa
terhadap pengasingan diri untuk bermeditasi (bersemadi). Pengetahuan yang
didapat orang dari meditasi, dianggap sesuatu yang lebih tinggi dari pada
pengetahuan yang dicapai dengan akal. “Meleburkan diri dalam daya-daya
kekuasaan dan menjadi satu dengan daya-daya kekuasaan tersebut” diusahakan
dengan bermacam-macam cara. Maka disebutlah “orang yang tajam tiliknya para
rsi, yang dengan jalan demikian dapat mengetahui rahasia-rahasia Dunia, hidup,
dan rahasia-rahasia ritus persembahan.
Sebagai wahyu dewa yang tertinggi, maka Weda-weda itu
disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa yang didengar, yaitu didengar
dewa yang tertinggi. Orang Hindu yakin, bahwa Kitab-kitab Weda adalah napas
Tuhan, kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan kepada
para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar kebenaran itu. Bentuk yang
diwahyukan tadi adalah mantra-mantra.
Sesudah
dibukukan, mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita),
yaitu :
a. Rg-Weda, berasal dari kata “Rig”
yang berarti memuji kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para Dewa dalam
bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi lagi dalam
beberapa bait . Rg-Weda berisi mantra-mantra dalam bentuk puji-pujian, yang
digunakan untuk mengundang para dewa, agar berkenan hadir pada upacara-upacara
kurban yang akan diadakan bagi mereka. Imam-imam atau pendeta yang mengadakan
puji-pujian ini disebut Hort.
b. Sama-Weda, hampir seluruh isinya
diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Rg-Weda
ialah puji-pujian di sini diberi lagu (Sama = lagu).imam atau pendeta yang
menyanyikan Sama-Weda disebut Udgatr. Menyanyikannya pada waktu kurban
dipersembahkan.
c. Yajur-Weda, berisi yajus atau rapal,
diucapkan oleh imam atau pendeta yang disebut Aswarya, yaitu pada saat
ia melaksanakan upacara kurban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja para
dewa, melainkan untuk mengubah kurban-kurban menjadi makanan dewa. Dengan
perantara rapal-rapal itu kurban serta bahan-bahan yang dikurbankan dengan para
dewa, dengan maksud supaya kurban tadi dapat diterima. Dapat dikatakan bahwa
denagn rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipakai untuk memenuhi keinginan
yang berkurban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa,
dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.
d. Atharwa-Weda, berisi mantra-mantra
sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan hidup keagamaan yang rendah,
seperti tampak di dalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi dimaksudkan
untuk menyembuhan orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan musuh dan
sebagainya. Upacaranya bukan diadakan untuk kurban, melainkan diadakan di
rumah.
Mula-mula kitab ini tidak diakui sebagai Kitab Suci, namun
lama-kelamaan diakui juga, sebab kepercayaan rakyat terhadap kitab ini sangat
kuat. Selain itu banyak raja yang mengambil pendeta-pendeta dari golongan ini
sebagai pendeta pribadinya.
Dengan ringkas kita melihat di dalam agama Weda hal-hal
seperti berikut :
a. Agama Weda tidak dapat di pahami
selain sebagai reaksi manusia terhadap pernyataan Allah, baik terhadap
pernyataan di dalam karya Allah, maupun di dalam syariat hukum taurat yang
tertulis di dalam hati manusia (Rm 1 dan 2). Tetapi itupun suatu reaksi, di
mana kelainan manusia berusaha untuk menindas kebenaran. Agama Weda adalah
suatu daya upaya manusia yang jatuh ke dalam dosa untuk menghindarkan diri dari
hukum Allah.
b. Di dalam agama Weda orang berdaya
upaya untuk mendekati dewa-dewa melalui dua jalan : physis dan etis. Melalui
garis physis yang ditentukan oleh pertentangan Indra – Vrta, dewa – sura, Arya
– Dashu, kosmos – chaos. Dan orang berusaha juga mendekati dewa melalui garis
rtik, yang ditetapkan oleh pertentangan : Waruna, penjaga “rta” – dosa manusia.
Kedua aspek dewa itu tidak dilihat sebagai satu hal, tetapi keduanya selalu
berlawanan. Indra dan Waruna berperang mati-matian. Dalam peperangan itu Indra
menang, artinya bahwa garis etik harus kalah di dalam agama Weda.
c. Kebimbangan terhadap pertanyaan
haruskah dewa dipandang sebagai pribadi ataukah sebagai suatu daya kekuatan,
tetap ada selama masa itu.
d. Oleh karena Waruna terdesak ke
samping agama Weda makin menggeser de dalam suasana egoisme. Agama menjadi
suatu daya upaya untuk merebut daya-daya kekuatan yang tersimpan di dalam
kosmos dengan persembahan dan mantera dan menggunakan daya-daya itu untuk
kepentingan-kepentingan egoistis.
e. Perkembangan agama Weda berlangsung
melalui dua garis. Yang pertama adalah garis spekulasi falsafi (renunagan
falsafi). Timbullah skeptisisme (kesangsian) terhadap dewa-dewa yang lama dan
orang berbalik kepada suatu zzat ilahi yang universal dan mujarad (abstrak)
sebagai zat segala zat. Inilah garis pantheistis (pantheisme ialah ajaran bahwa
segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan) yang terutama kelihatan jelas di
dalam berkas kesepuluh dari reg-Weda. Garis yang kedua ialah garis dekadensi
(kemunduran) kepada magi. Tiap-tiap perbuatan persembahan dianggap sebagai
berkekuatan magis. Orang brahmana menjadi ahli sihir. Hal ini terutama ternyata
didalam ajur weda dan di dalam antharwa-weda.
f. Dipandang dari sudut kepercayaan
kita, maka kita hanya dapat mengkonstatir bahea di dalam agama weda manusia
melarikan diri dari kekudusan Tuhan, manusia menundukan kemuliaan tuhan ke alam
insani.Tuhan di samakan atau diidentifikasikan dengan daya kekuatan yang
tinggal di dalam makhluk, atau di buat kabur menjadi suatu pengertian
falsafi. Dengan demikian ia dilukiskan sebagai dzat yang terdalam, inti
segala yang ada.
g. Di dalam agama hindu ada beberapa
pengertian yang kaitannya dengan kepercayaan, yaitu pengertian tentang Rta.
Yang dimaksud dengan pengertian Rta artinya ‘pergi’ kemudian berubah dalam arti
tata- tertib’. Di dalam kitab Weda kata Rta berarti tata tertin alam kosmos,
yang dianggap sebagai pencerminan dari adanya daya kekuatan dan daya kekuasaan
yang menciptakan dan mengaturnya. Kita lihat peredaran tata-surya, matahari,
bulan dan bintang yang tetap teratur. Hal ini berlaku tertin karena ditetapkan
dan diatur oleh Dewa Waruna, yaitu Dewa yang tertinggi, Yang Maha
Pencipta, dalam hal ini disebut Rtawan.
Oleh karena manusia adalah bagian dari alam semesta, maka
manusia harus juga tunduk kepada Rta. Dengan ia tunduk kepada Rta maka manusia
akan mencapai kehidupan yang harmonis, baik sesame manusia, baik dengan alam
lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi apabila manusia mengikuti Rta,
maka apa yang dirasakan, didengar dan dilihat akan di tanggapi sebagai sesuatu
yang indah manis dan nikmat. Bagi umat Hindu Rta terserap dalam Satya (kebenaran) bersama dengan Dharma sehingga merupakan
suatu keyakinan yang penting. Oleh karena Rta adalah pencerminan dari daya
kekuatan dan daya kekutan itu adalah Dewa Waruna, maka keberlangsungannya harus
dijaga. Untuk itu perlu adanya ritus, dan dengan dilaksanakannya ritus maka Rta
akan tetapn berjalan dengan tertib dan teratur. Oleh karenannya manusia
janganlah berbuat dosa, karena berbuat dosa berarti melanggar Rta dan berarti
menentang kekuasaan Tuhan.
1.
Dewa-Dewa
Dewa dalam Hinduisme membuat agama ini menjadi agama yang
penuh dengan keindahan.
Di dalam kitab Weda Samhita terdapat dua golongan yang kedudukannya lebih
tinggi dari manusia yaitu : Dewa-dewa pemurah terhadap manusia dan menerima
pujaan manusia, dan para roh jahat yang memusuhi manusia.
Kitab Rg-Weda menyebutkan adanya 33 dewata, yang dapat dibeda-bedakan atas dewa-dewa
langit, dewa-dewa angkasa, dan dewa-dewa bumi.
- Agni (Dewa api)
- Aswin kembar (Dewa pengobatan,
putera Dewa Surya)
- Brahma (Dewa pencipta, Dewa
pengetahuan, dan kebijaksanaan)
- Chandra (Dewa bulan)
- Durgha (Dewi pelebur, istri Dewa
Siva)
- Ganesha (Dewa pengetahuan, Dewa kebijaksanaan,
putera Dewa Siva)
- Indra (Dewa hujan, Dewa perang, raja
surga)
- Kuwera / Kubera (Dewa kekayaan)
- Laksmi (Dewi kemakmuran, Dewi
kesuburan, istri Dewa Visnu)
- Saraswati (Dewi pengetahuan, istri Dewa
Brahmā)
- Shiwa (Dewa pelebur)
- Sri
(Dewi pangan)
- Surya (Dewa matahari)
- Waruna (Dewa air, Dewa laut dan
samudra)
- Wayu / Bayu (Dewa angin)
- Wisnu (Dewa pemelihara, Dewa air)
- Rudra (Dewa badai)
- Dhara (Dewa Bumi)
- Anala (Dewa Api)
- Anila (Dewa angin)
- Dhruva (Dewa bintang kutub)
- Soma (bulan)
- Prabhasa (Dewa fajar)
- Pratyusa (Dewa sinar)
- Dattatreya
- Savitr
- Yama (Dewa kematian)
- Satya (Dewa kebenaran)
- Kratu (Kehendak)
- Daksa (Dewa keterampilan)
- Kala (Waktu)
- Kama (Keinginan)
- Dhrti (Dewa kesabaran)
- Pururavas (Dewa atmosfir)
- Madravas (Dewa kegembiraan)
Vasu
merupakan sekelompok Devata yang jumlahnya delapan, terutama dikenal sebagai
pengiring Indra. Kata Vasu diambil dari akar kata ‘vas’ (bertempat tingal,
menyebabkan bertempat tinggal, bersinar) sehingga vasu merupakan devata yang
menyatakan segala wilayah luas atau ruang dan ketinggian.
Delapan
vasu tersebut adalah : Dhara, Anala, Ap, Anila, Anala, Dhruva, Soma, Prabhasa,
Pratyusa.
Karena karya Waruna inilah maka langit dan
bumi dipisahkan, pelajaran matahari, bulan, dan bintang teratur, sungai-sungai
mengalir dengan baik, musim-musim datang pada waktunya dan sebagainya. Selain
itu Rta juga dipandang sebagai tata tertib susila. Sebagai pengawas rta, Waruna
juga memberikan hadiah atau pahala kepada yang baik dan menghukum kepada
yang jahat. Orang yang baik ialah orang yang mengikuti hukum Rta.
Dewa yang lain ialah Surya, yang digambarkan sedang berkereta ditarik oleh 7
ekor kuda. Dewa ini dapat memperpanjang hidup, mengusir penyakit dan
sebagainya.
Dewa Wisnu juga termasuk dewa langit, tetapi pada zaman ini belum memegang
peranan yang penting. Tentang dewa ini hanya disebutkan, bahwa ia melangkahkan
tiga langkah. Langkah yang ketiga itulah langkah yang tertinggi. Itulah sorga
tempat kediaman para dewa-dewa.
Yang termasuk dewa-dewa angkasa di antaranya adalah Indra, yang merupakan dewa
terpenting. Seperempat kidung dalam Rg-Weda ditujukan kepadanya. Indra adalah
Raja para dewa ia adalah dewa hujan yang bersenjatakan petir, dewa langit
pengumpul awan dan dewa kemenangan. Ia juga bernama Surapati (sebagai
raja para dewa), Vrtahan (sebagai dewa hujan yang membunuh naga Vrta
yang menyembunyikan air dalam gua selam musim kemarau). Indra sering diletuskan
secara antropomorfis : mempunyai tubuh, tangan, kaki, bibir, rahang, dan
jenggot. Indra diyakini sebagai dewa yang selalu melepaskan air yang member
hidup yang kemudian mengalir kesamudra dan dalam perjalanannya selalu
memperkaya dan mempersubur bumi.
Setelah Indra dewa yang terpenting adalah Agni yang dianggap sebagai
perantara dewa dan manusia. Dewa inilah yang meneruskan puji-pujian dan kurban
bakar kepada para dewa yang dimaksud, Agni pula yang mendatangkan para
dewa ketempat-tempat sesaji dengan bunyi-bunyian dalam arti. Setiap rumah orang
Hindu biasanya mempunyai tiga macam api yaitu : untuk upacara harian (agnihotra)
dan sampai saat ini masih terdapat dikalangan keluarga Pandit yang ortodoks
; api untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan
purnama dan api untuk upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur.
Mengenai upacara-upacara masih ada lagi upacara yang dilakukan empat bulan
sekali upacara lainnya adalah upacara pengangkatan Altar api yang disebut
dengan Agnicayana, biasanya dilakukan menggunakan sebongkah batu yang
berbentuk seekor burung.
Selanjutnya dewa yang terpenting setelah agni adalah Soma, dewa
minuman keras, yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut Soma
pula. Soma adalah minuman para dewa. Dalam upacara korban Soma dituangkan
sebagai persembahan kepada para dewa. Hal yang agak aneh ialah rasa hormat yang
luar biasa bukannya ditujukan kepada objek kritus itu sendiri tetapi hanya
kepada kekuatan Soma itu saja. Cairan sari tanaman Soma sangan memabukkan dan
digunakan untuk memperdaya dewa, orang-orang yang memujanya meminum cairan ini.
Karena minuman ini sangat memabukkan maka tentu akan mempegaruhi pandangan
orang yang terlibat dalam upacara. Dalam berkembangan selanjuttnya Soma bukan
hanya disamakan sebagai kekuatan saja, tetapi kemudian menjadi personifikasi
dari bulan yang selanjutnya diidentikkan dengan dewa Waruna yang berkuasa di
sorga. Bulan adalah tempat cairan soma yang dianggap sacral dan kebeningannya
yang indah berkilau karena sinar sorga dianggap sebagai sari penting dari raja
langit.
Dewa penting setelah agni adalah Waruna atau Aditya, putra Adity, dewi
kebaikan. Berkat kerja Waruna maka langit, matahari, bulan dan bintang dalam
tata surya dapat bekerja dengan baik dan sebagaimana mestinya. Sungai-sungai
mengalir dan musim silih berganti selaras dengan cosmos (alam) lain oleh karena
itu dosa adalah menyalahi tata tertib cosmos, dan agar kembali normal perlu
dilakukan sesembahan kurban dan sesaji.
Sesudah dewa Waruna, ada beberapa dewa lain yang masing-masing kurang jelas
urutan kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (dewa matahari), Wisnu,
si kembar Aswin atau Nasatya (dewa alam pagi hari) yang
kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas (dianggap sebagai dewa fajar), Merut
(dewa taufan dan angin rebut), Rudra (dewa taufan dan petir), Parjanya
(dewa hujan), dan Saraswati (dewa sungai yang kemudian dianggap
sebagai dewi ilmu pengetahuan). Dewa-dewa penting sebagai personifikasi
kekuatan alam adalah dewa Prajapati (penguasa alam dan segala makhluk), Wiswakarman
(dewa pencipta), Brhamanaspati atau Braspati (dewa
personifikasi pembuatan manusia alam sesaji), Widhatar (dewa guntur).
Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali dewa, namun ia tidak dapat
dikatakan politeistis karena ternyata dewa tertentu yang sedang dipuja selalu
dianggap sebagai dewa tertinggi yang memiliki segala kekuatan para dewa
yang lain. Dengan demikian yang ada hanya satu dewa tertinggi saja yang
memiliki kekuatan para dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu
barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteistik
(henoteisme). Max Miller juga menghindari istilah monoteisme atau politeisme
dalam ketuhanan agama Hindu. Ia menggunakan istilah “henoteisme” karena ada
kecenderungan melukiskan semua kekuatan pada tuhan tertentu dan utama yang ada dalam
pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan yang
Lenoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteistik
(kathenotheism) karena dalam agama ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan
dan mengagungkan hanya satu dewa yang maha tinggi yang diperlakukan sebagai
objek tunggal, akan tetapi dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.
2.
Roh-Roh (Jahat)
Menurut kepercayaan Weda kuno, selain para dewa masih ada
lagi roh-roh jahat. Roh jahat ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi
musuh para dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau
(Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaanya adalah Raksa dan Pisaca (pemakan
bangkai). Raksa sering menampakkan diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi
roh “halus” seperti gandarwa, yaksa, bhuta, dan raksasa.
Arwah leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan
agama Weda ini. Apabila orang meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam
bahagia tetapi masih mengembara dalam keadaan menderita. Jiwa semacam ini
disebut dengan preta, dan sangat membahayakan. Oleh karena itu
keturunannya, anak cucu terutama anak laki-lakinya, perlu mengadakan upacara
sesembahan dan menyelenggarakan upacara korban supaya preta segera sampai
kealam bahagia yaitu alam pitara. Raja para pitara adalah dewa Yama.
3.
Korban dan Praktek Keagamaan
Korban
Setiap yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu adalah
perwujudan dari pengamalan ajaran agama. Karena itu setiap aktivitas beryadnya
termasuk dalam sebutan “upacara agama”. Dasarnya, bahwa setiap pelaksanaan
yadnya didasari atas sumber hukum berupa kitab suci Weda baik dalam katagori
Sruti (wahyu) maupun Smrti (tafsir wahyu).
Weda Sruti sebagai sumber dari segala pelaksanaan ajaran agama Hindu. Sedangkan
Weda Smrti merupakan penjabaran suratan Weda yang sudah disiratkan.
Kongkretnya lagi, Weda Sruti sebagai rumus-rumus agama
sementara Weda Smrti berperan selaku kamus-kamus petunjuk pelaksanaannya. Apa
yang kemudian disebut sebagai upacara adat sebenarnya merupakan bentuk-bentuk
tafsir ajaran Weda yang ditradisikan. Inilah yang diistilahkan sebagai tradisi
Weda, artinya suatu bentuk kegiatan atau aktivitas suatu masyarakat (mis.
Bali), yang berdasarkan atas ajaran agama Hindu yang sudah men-desa-kala-patra.
Lebih sederhananya lagi upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di
Bali merupakan bentuk penjabaran Weda menurut nuansa tradisi. Tetap ingat,
tidak semua tradisi masyarakat Bali itu dapat disebut sebagai upacara adat.
Yang dapat disebut upacara adat hampir selalu dicirikan oleh
nuansanya yang agamais. Atau dengan kata lain upacara adat itu adalah tradisi
yang dijiwai oleh unsure-unsure keagamaan. Contoh : upacara ngaben, penggunaan
wadah, jempana, lembu merupakan tradisi yang hanya dibuat oleh masyarakat Hindu
di Bali. Sedangkan esensi keagamaannya terlihat pada upacara pembakaran mayat
dengan konsep mempercepat proses pengembalian (pemralina) unsure-unsure
Pancamahabutha sang mati. Unsure agama lainnya, doa, japa, mantra dan yadnya
yang digelar sebagai pengantar, pengharap agar arwah sang mati mendapat jalan
lapang sesuai karma dan bhaktinya menuju alam-Nya.
Perihal bunyi kitab suci Bhagavadgita IX.26 yang meyebutkan
sarana persembahan berupa bunga, buah, air dan daun yang tidak bersifat
mengikat tetapi kenyataannya masih diatur lagi sehingga tidak semua jenis bunga
misalnya yang dapat dipakai sarana upacara atau upakara yadnya dapat diberi penjelasan
dengan membandingkan di sekala. Untuk itulah ada buku atau lontar yang
menjabarkan tentang jenis bunga yang bisa dan tidak dipakai dalam persembahan.
Yang pasti setiap sarana persembahan patut mengacu pada persyaratan seperti :
Sukla (belum pernah diaturkan), tan leteh (tidak bernoda atau cemar), tidak
didapat dari perbuatan jahat (mencuri) dan sesuai dengan sastra (petunjuk
lontar) serta dresta (tradisi).
Umat Weda memulaikan para leluhur mereka dengan
menyelenggarakan upacara korban, upacara korban, yang selain dilakukkan dengan
harapan supaya para dewa melindungi manusia dari roh jahat, juga supaya para
dewa memberikan kelancaran, kemurahan serta ketentraman. Tujuan utama upacara
korban dalam agama Weda ini ialah terjaminnya tata tertib kosmos.
Dua macam upacara korban simbolik yang penting ialah :
pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik
dalam kitab Rg-Weda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani
korban untuk penciptaan dan kedua adalah korban sarwameda di mana
manusia mengakui ke maha kuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa
melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.
Selain itu masih ada korban Rajasanya, korban untuk
pengobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarakan dengan upacara yang disebut
Aswemeda. Untuk keperluan sehari-hari korban dilakukan oleh kepala
keluarga yang diselenggarakan di api keluarga. Ada pula upacara korban yang
diselenggarakan di rumah-rumah atau di altar. Dari segi penyelenggaraan, korban
yang dilakukan hanya oleh seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan.
Biasanya korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang
sangat diutamakan biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah
menyitir bait-bait yang terdapat dalam Rg-Weda. Pendeta Adwaryu juga
penting karena dalam penyelenggaraan korban ini diperlukan
persiapan-persiapan yang cermat.
Di kalangan rakyat umum terdapat beberapa upacara korban
sebagai upacara siklus kehidupan. Di beberapa tempat, upacara
tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang sangat
sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh
pemilik rumah selaku penanggungjawab anggota keluarganya. Upacara ini juga
mementingkan api.
Praktek
Keagamaan
Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang pada zaman ini ialah kurban.
Kurban-kurban itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan
dewa-dewa, menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan memuja para
leluhur.
Pada hakikatnya kurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa itu bersifat
permohonan, yaitu mohon keuntungan-keuntungan bagi hari depan, sehingga kurban
ucapan syukur bagi hal-hal yang sudah dialaminya tidak ada.
Dengan kurban itu mereka bermaksud untuk menggerakkan hati para dewa sehingga
mereka berkenan mengabulkan permohonan yang diajukan bersamaan dengan
kurban-kurban itu.
Ada dua macam kurban, yaitu kurban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada
waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi,
musim hujan, dan musim dingin.
Disamping itu ada kurban berkala,yang dikurbankan jika ada keperluan,
umpamanya kurban sama, aswameda atau kurban kuda, rajasuya, dan
sebagainya.
Kecuali kurban-kurban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan
orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4
bulan, yaitu waktu diajak berpergian untuk pertama kali, atau juga waktu anak
makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan
sebagainya. Demikianlah seluruh kehidupan orang pada zaman itu diliputi oleh
upacara-upacara keagamaan.[14]
Zaman Klasik
Spekulasi
canggih serta mistisisme intelektual ternyata tidak dapat
spekulasi aspirasi religius manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi
sekelompok kecil arif-bijaksana yang memisahkan diri dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
(a) Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja
yang baik.
(b) Interprestasi
yang rasuonal terhadap masalah kehidupan manusia.
(c) Penolakan terhadap ritualisme serta menghormati
kehidupan dunia hewan.
(d) Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada
siapa manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.
Jika para pertapa dan arif- bijaksana membimbing
beberapa murid dalam menjalankan mistisisme metafisis, maka kasta Brahmana
mengembangkan teks-teks ritual rumit yang dikenal sebagai sutra. Reaksi
populer tervermin dalam gerakan-gerakan seperti buddhiesme, Jainisme,
Shaivisme, dan Vaishnavisme.
Menurut Arvind Sharma, terdapat dua bentukreaksi
terhadap ritual qorban model Weda, yakni eksterbal dan internal. Teks-teks
Upanishad yang mengkritisi tradisi sebelumnya, namun masih tetap
mendudukkan serta mengidentifikasikan diri dengan Weda. Namun pada abad ke-6
S.M., muncul dua gerakan utama yang mendudukkan diri mereka di luar kekolotan
hukum Weda, yakniBuddhisme dan Jainisme. Dalam menghadapi tantangan inilah
Hinduisme lantas memulai meredefinikasi dirinya. Buddhisme dan Jainisme memang
menolak otoritas atau tradisi weda, terutama mengenai komitmen terahadap tujuan
serta kehidupan duniawi, instuisi kasta dan tahap-tahap kehidupan, paling tidak
sebagian, jika tidak seluruhnya. Hinduisme merumuskan dirinya dalam menghadapi
tantangan ini, dengan menyatakan validalitas weda serta hukum kasta (varna)
dan tahap-tahap kehidupan (asrama). Pada mulanya gerakan Hinduisme dan
Jainisme menarik banyak perhatian orang dan menjadi kekuatan yang cukup besar.
Jika kita melihat bukti-bukti arkeologis dari abad ke-2 S.M, ,aka bukti
menunjukkan bahwa gelombang pasang sedang memihak kepada Hinduisme, dan
sejumlah besar orang asing yang masuk ke India pada waktu itu juga menjadi pengikut
Budhisme.
Namun lambat laun gelombang pasang tersebut berbalik.
Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar 300 M, memberikan tanda
kebangkitan kembali Hinduisme. Pada abad lke- 3 sampai abad ke-10, Hinduisme
telah berhasil secara gekilang mendudukkan diri sebagai agama dominan di India.
ketika Fa Hsien mengunjungi India pada abad ke-4,
Buddhisme memang sedang berkembang, dengan pesat, tetapi tanda-tanda
kebangkitan Hinduisme juga sudah tampak jelas. Demikian juga dari catatan I
Ching yang kemudian juga berkunjung ke India. Kemudian Hsuan-Tsang meminta agar
kutipan dari Rig-Weda dikirim kepadanya setelah ia kembali ke cina, dan seorang
raja Hindu memintanya untuk menerjemahkan Tao Te Ching ke dalam bahasa
Sansekerta. Hal ini membuktikan adanya interaksi baik antara Hinduisme dan
Buddisme, yakni: antara India dan Cina pada saat itu. Kebangkitan
Hinduisme di masa Klasik terkait erat dengan kebangkitan dan kesadaran akan
Weda, yang secara grafis digambarkan lewat imajinasi raksasa seekor babi yang
meruoakan inkarnasi dewa Wishnu, yang menyelamatkan bumi dari kejatuhannya.
Buddhaisme dan Jainisme
Bersama-sama dengan kaum Materialis (Carvaka), ketiga
aliran ini disebut nastika, artinya tidak menerima otoritas Weda. Mereka juga
dimasukkan ke dalam golongan ‘heterdoks’ (tidak-ortodoks). Sedangkan
ke-enam aliran filsafat (shad-Darsana) yang disebut astika adalah yang menerima
otoritas Weda disebut juga sebagai golongan ‘ortodok’. Keduanya mengajarkan
doktrin etika yang menekankan kesucian lehidupan hewani, sehingga berada di
luar jangkauan Hinduisme kolot, karena penolakan mereka terhadap Weda sebagai
kitab suci. Kita akan membahas kedua aliran ini di bagian belakang buku in.i
Shaivisme dan Vaishnavisme
Kedua
aliran ini merupakan gerakan teistik yang sulit dilacak asal-usulnya dan
memainkan peranan sangat penting dalam perkembangan Hinduisme berikutnya.
Shaivisme atau agama shiva tampaknya dimulai sekitar abad ke-6 S. M. Dengan
menyembah dewa Rudra dalam kitab Weda. Namun segera dewa Rudra digantikan
oleh shiva yang merupakan dewa kaun non-Aryan. Shiva dapat masuk kedalam tubuh
yang sudah mati serta muncul dalam wujud manusia unutk mewahyukan agama baru.
Doktrin devosi (Bhakti) yang diajarkan dalam Bhagavata dikatakan
telah diwahyukan oleh Vasudeva-Krisna. Ajaran ini disebut ‘Agama devosi
tunggal’ (akantika-Dharma). Hal ini terkait dengan Bhagavad-Gita yang ditulis
sekitar abad ke-4 atau ke-3 S.M. Ajaran Gita ditulis secara terpisah sebagai
bab tersendiri. Kemudian Vasudeva-Krisnadiidentifikasikan dengan dewa Wishnu
dan seluruh gerakan berkembang menjadi agama Wishnu (Vaisnavism). Kedua
epos, yakni Mahabharata dan Ramayana kemudian menjadi sarana
pemikiran religius serta devosi bagi masyarakat.
Dalam
Mahabharata, terdapat gambaran tentang perkembangan agama Shiwa dan agama
Wishnu yang mengkristal dalam cerita epos. Rama sebagai tokoh utama dalam epos Ramayana
dibuat menjadi jelmaan (avatara)dari dewa Wishnu dan teks Ramayana
lantas menjadi teks suci kaum Vaishnavisme.
Perkembanga agama populer membentuk sebuah
tantangan bagi tradisi ritual Weda serta mistisisme metafisis awal. Untuk
memenuhi tantangan ini, maka para ritualis dan metafisikawan mulai merumuskan
serta menyistemkan ini melahirkan berbagai sistem filsafat India. Ada enam
sistem (Shad-Darshana), yakni: Nyanya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga,
Purva-Mimamsa dan Vedanta.
Sekitar 2500 S.M. sudah terdapat
corak penghidupan manusia dengan kebudayaan yang cukup tinggi di anak benua
India dengan penghidupan secara berkelompok di kota-kota di daratan Indus
dengan pusat-pusatnya di Mohenjodaro, Harappa dan juga di daerah-daerah lain
seperti di Gujarat dan Rajasthan. Dari segi ilmu sejarah, tidak banyak terdapat
peninggalan bahan-bahan atau tulisan-tulisan tentang zaman purbakala di India.
Zaman Permulaan
Sekitar 1500 S.M. datanglah ke anak benua India bangsa-bangsa yang semula
mendiami daerah-daerah sekitar Laut Kaspia, yang dalam sejarah India dikenal
sebagai bangsa Arya atau Indo-Arya. Bangsa Arya ini mula-mula menetap di daerah
Punjab (India Barat Laut) yang kemudian meluas ke daerah sungai Gangga dan
daerah-daerah lain di India. Mereka membawa kepercayaan, filosofi dan
kebudayaan mereka ke India, yang kemudian menyatukan diri dengan kebudayaan di
India pada waktu itu.
Lama kelamaan mereka berhasil mencapai taraf peradaban dan kebudayaan yang
tinggi dengan menemukan suatu bahasa, yang kemudian dikenal dengan bahasa
Sanskrit, yang mereka pergunakan dalam nyanyian-nyanyian keagamaan mereka yang
dinamakan dengan “Rigveda” untuk memuja dewa-dewa dan kepercayaan mereka.
Zaman Arya ini menyaksikan lahirnya kerajaan-kerajan di India dan masa ini
berlangsung sampai abad ke-7 S.M. Pada abad ke-6 S.M. terjadilah pernyebuan ke
India oleh bangsa-bangsa Parsi, yang karena kebudayaan dan teknik mereka yang
lebih tinggi berhasil menduduki dataran India dengan membawa arsitektur dan
cara penghidupan mereka. Zaman Parsi ini juga dinamakan dengan zaman empirium
(Period of Empires) dalam sejarah India, dengan berdirinya empirium-empirium
seperti Magadha dengan raja-raja Bimbisaura dan Ajatasatru. Pada abad ke-6
inilah lahir Budha Gautama dan Mahavira. Zaman Parsi ini juga membuka
perhubungan lalu lintas antara India dengan negara-negara di sebelah
baratnya.
Pada tahun 326 S.M. pasukan-pasukan Iskandar yang agung menyerbu India dan
berhasil menduduki daerah India Barat Laut. Meskipun tidak meninggalkan
pengaruh politik yang besar, tetapi nyatanya untuk waktu yang cukup lama,
mitologi dan kebudayaan di bagian Barat Laut India banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Yunani.
Pasukan-pasukan Iskandar yang agung akhirnya dapat dikalahkan oleh Raja Chandra
Gupta. Cucu Chandra Gupta, yaitu Ashoka menjadi raja yang sangat terkenal dalam
sejarah India. Raja Ashoka ini yang secara terus-menerus telah mengalami kepahitan
perang akhirnya memeluk agama Budha dan dibawah pemerintahannya banyak
mengirimkan misi-misi agama dan kebudayaan ke negara-negara di Asia Selatan,
Timur dan Tenggara. Dan dalam masa 900 tahun berikutnya, India mengalami zaman
perdamaian dimana kerajaan-kerajaan dapat berkembang, yang pada masa sekarang
ini masih dapat dilihat sisa-sisanya dalam bentuk pemahatan batu dan
candi-candi.
Zaman Pertengahan
Pada abad ke-8 pedagang-pedagang Islam dari Asia Barat datang ke India.
Pengaruh agama dan kebudayaan Islam meluas ke seluruh India dan pada abad ke-13
berdirilah Kesultanan Delhi yang melahirkan suatu dinasti Islam di India selama
beberapa abad lamanya. Berdirinya Kesultanan Delhi pada abad ke-13 ini, dalam
sejarah India dianggap sebagai permulaan zaman pertengahan dan dimulainya Zaman
Mughal.
Penyatuan kebudayaan Islam dan Hindu membawa kejayaan bagi India yang tercermin
dalam seni, sastra, bahasa dan arsitekturnya. Pada abad ke-13, 14 dan 15
tersebut, India menyaksikan lahirnya pujangga-pujangga besar seperti Amir
Khusrau dan raja-raja besar yang telah memerintah India dengan arif dan
bijaksana seperti Akbar (disebut juga sebagai The Greatest Mughal Emperor) dan
Shahjahan, dua orang raja Mughal yang sangat terkenal. Hingga sekarang masih
tampak dengan jelas peninggalan-peninggalan Islam di India dengan terdapatnya
mesjid-mesjid dan makam-makam Islam di seluruh India seperti Taj Mahal dan lain
sebagainya.
Kemunduran Islam di India terjadi pada tahun 1707 setelah wafatnya Raja Aurangzeb.
India terpecah belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang saling bermusuhan dan
berperang, yang memudahkan bangsa-bangsa Barat masuk ke India. Dalam sejarah
India, Bahadur Shah Zafar dianggap sebagai penguasa dinasti Mughal yang
terakhir. Ia pernah melancarkan pemberontakan terhadap Inggris, tetapi
pemberontakan tersebut dapat ditindas Inggris pada tahun 1857.
Zaman Penjajahan
Orang Barat pertama yang menginjakkan kakinya di India ialah Vasco de Gama pada
bulan Mei 1498 di Kalikut, tetapi ia tidak berhasil untuk menetap di sana.
Kemudian usaha tersebut diulanginya pada tahun 1501 dan berhasil mendirikan
tempat kedudukan bagi Portugis di Kannanore, Kochin dan Kalikut. Bangsa-bangsa
barat lainnya seperti Spanyol, Belanda dan Inggris berturut-turut datang ke
India dengan maksud yang sudah cukup terkenal dalam sejarah bangsa-bangsa Barat
di Asia. Dengan keadaan yang sudah terpecah-belah diantara bangsa-bangsa di
India sendiri, maka orang-orang Barat tersebut berhasil menduduki tempat-tempat
penting di pantai selatan India yang kemudian melebar dan akhirnya Inggris
jualah yang memenangkan kekuasaan di anak benua India.
Kekuasaan Inggris di India dimulai dengan berdirinya English East India Company
pada tahun 1600 yang semula lebih bersifat dagang, dan kemudian dibarengi
dengan penguasaan secara fisik dan politis, yang mencapai puncaknya dalam
pertempuran Buxar pada tahun 1756 melawan raja-raja India. Kemenangan Inggris
dalam pertempuran itu membuat Inggris berhasil menguasai daerah-daerah
Benggala, Bihar dan Orissa yang kemudian dalam kurun waktu yang kurang dari
setengah abad disusul pula dengan penguasaan terhadap daerah-daerah lain di
India.
Pada tahun 1824 Pemerintah Inggris mengambil alih kekuasaan terhadap English
East India Company dari India dan dengan demikian secara mutlak mendudukkan
kekuasaannya terhadap negara ini. Meskipun demikian, Inggris masih mengizinkan
berdirinya kerajaan-kerajaan kecil yang dikepalai oleh pangeran-pangeran.
Inggris juga menempatkan seorang Gubernur Jenderal di India sebagai Wakil
Mahkota dan Pemerintahnya. Ahli-ahli sejarah India menganggap zaman penjajahan
Inggris tersebut sebagai suatu proses modernisasi yang menguntungkan bagi
penyatuan seluruh wilayah India secara politis dan administratif dan berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat. Demikian juga
menjelang abad ke-19 diletakkan dasar-dasar pembangunan industri serta
peningkatan lembaga-lembaga pendidikan di
India.
.
Gerakan kemerdekaan dan perasaan kebangsaan India mulai timbul pada pertengahan
abad ke-19 dengan meletusnya suatu pemberontakan yang dipimpin oleh raja-raja
India pada tahun 1857, tetapi berhasil ditindas oleh Inggris. Gerakan
kemerdekaan tersebut mencapai suatu bentuk yang lebih nyata dengan berdirinya
Indian National Congres pada tahun 1885 yang pada tahun 1905 menuntut
diadakannnya “Swaraj” (self-rule): dari-oleh-untuk bangsa
India.
Kemudian pada tahun 1906 didirikan pula Indian Muslim League untuk menyatukan
dan menjamin kepentingan-kepentingan orang Islam di India. Dari sinilah
sebetulnya awal permulaan lahirnya negara Pakistan.
Demikianlah selama kurang lebih setengah abad lamanya, gerakan kemeredekaan
India menuntut kemerdekaan penuh bagi India. Pemimpin-pemimpin terkenal dalam
gerakan ini antara lain ialah Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru dan Mohd. Ali
Jinnah. Pada tahun 1935, Inggris mengumumkan “The Government of India Act” yang
merupakan Undang-Undang Dasar untuk pemilihan dewan-dewan perwakilan di
negara-negara bagian. Banyak kedudukan dalam dewan-dewan tersebut dimenangkan
oleh National Congress dan Muslim League.
Dan pada tahun 1940, untuk pertama kalinya, Muslim League menuntut satu negara
khusus untuk orang-orang
Islam.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, tuntutan kemerdekaan makin mendesak
kepada Pemerintah Inggris yang menghasilkan dibentuknya suatu Constituent
Assembly, tetapi Muslim League tidak bersedia ikut serta dalam Constituent
Assembly ini dan tetap menuntut dibentuknya suatu negara tersendiri bagi
penduduk Islam India. Tuntutan kaum Muslim itu akhirnya dipenuhi oleh Inggris
dengan pembentukan negara Pakistan. Pada tanggal 15 Agustus 1947, Inggris
memberikan kemerdekaan kepada India dan Pakistan.
Zaman Kemerdekaan
Setelah berhasil menanggulangi dua masalah besar pada awal kemerdekaannya,
yaitu perpindahan penduduk secara besar-besaran akibat terpecahnya bekas
jajahan Inggris ini menjadi India dan Pakistan serta masalah pengintegrasian
k.l. 600 kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh pangeran-pangeran ke
dalam Negara Kesatuan India, India mulai menyusun kerangka kehidupan
kenegaraannya dalam bentuk suatu Undang-Undang Dasar yang mulai berlaku pada
tanggal 26 Januari 1950. Sejak tanggal ini pula India resmi menjadi Republik India
dengan Presiden sebagai Kepala Negaranya dan Perdana Menteri sebagai kepala
Pemerintahannya.
Salah satu tujuan India adalah untuk mencapai kemerdekaan ekonomi yang
diusahakan melalui pembangunan ekonomi dan sosial berencana melalui berbagai
Repelita yang dimulai sejak April 1951. Dalam masa lebih dari 30 tahun ini
India telah berhasil membangun industri-industri berat dan mendidik
tenaga-tenaga teknologi yang menjadi landasan untuk pembangunan
industri-industrinya lebih lanjut (seperti: mobil, pesawat terbang, tank dan
persenjataan, mesin-mesin dan generator-genarator berat, kereta api dan
sebagainya). Selain itu dalam beberapa tahun terakhir ini India juga telah
berhasil mencukupi kebutuhannya sendiri akan bahan-bahan pangan.
Disamping prestasi-prestasinya tersebut, India masih menghadapi berbagai
tantangan dalam pengintegrasian nasional, seperti usaha penerapan bahasa Hindi
sebagai bahasa nasional, pertentangan komunal (Hindu-Muslim) dan bahkan
pertentangan antar kasta yang belum kunjung
selesai.
Sejak kemerdekaannya, India beberapa kali mengalami konflik bersenjata dengan
negara-negara tetangganya, yaitu antara lain dengan RRC tahun 1962 mengenai
soal perbatasan dan dengan Pakistan tahun 1971 yang berakhir dengan perubahan
status Pakistan Timur menjadi negara Bangladesh.
Zaman Modern zaman Kemerdekaan
India
Pengaruh
kebudayaan Barat memberikan dampak menentukan bagi Hinduisme. Walaupun
Hinduisme popular dan tradisional tetap menguasai masyarakat umum,
namun orang-orang terpelajar sangat – sangat dipengaruhi oleh
ide-ide baru yang datang dari Barat. Rasionalisme dan
Positivisme cukup memikat pikiran orang-orang yang tidak puas dengan
Hinduisme tradisional. Berbagai gerakan reformasi dimulai, dimana Brahmo-Samaj,
Arya-Samaj,dan Ramakrisna Mission merupakan gerakan yang
paling penting , Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan
dengan Barat telah membuat penganut Hinduisme lebih sadar akan
keniscayaan untuk menjaga nilai-nilai tradisional Hinduisme, walaupun
mereka harus menyesuaikan diri dengan melintas modern.
Masuknya
orang-orang Inggris sebagai penjajah membuat Hinduis memenghadapi situasi yang
berbeda secara kualitatif. Serta masuknya penguasa Inggris mengurangi
kekuatan Islam, namun Hinduisme harus menghadapi sebuah kekuatan baru,
yakni agama Kristen.Pada saat yang sama, Hinduisme dihadapkan dengan
sebuah ancaman baru, yakni: saina, sekularisme dan humanisme.
Justru melalui inisiatif orang-orang Barat, pengetahuan tentang Hinduisme
ditemukan kembali dan termasuk studi atas kitab Weda. Dampak bagi pengikut
Hinduisme tampak dari pernyataan orang seorang tokoh nasionalis seperti
Swami Vivekananda bahwa Max Muller yang mengedit Rig-Weda
dimasa modern mungkin adalah reinkarnasi dari Sayana di masa kerajaan
Vijayanegara.
Walaupun ada
sejumlah unsur yang dipertimbangkan untuk menjelaskan kebangkitan kembali
Hinduisme setelah tahun 1800, namun dari sisi Hinduisme sebagai
system religious, orang harus mengenali peran Weda dalam
proses tersebut. Pada masa reformasi awal, justru issu tentang Weda dan
otoritas Weda muncul kembali kepermukaan. Tokoh reformasi
Hindu pertama adalah Raja Rammohun Roy berusaha
untuk membenarkan monoteisme yang berbasis Vedanta. Sekitar
1830, dia mendirikan gerakan Brahmo Samaj di
wilayah Bengal untukmelanjutkan perjuanganya.Kemudian di akhirabad ke-19, Swami
DayanandaSaraswati mendirikan gerakan Arya Samaj di Bombay,
memperkuatkeabsolutan Weda yang telah dicetuskan oleh gerakan Brahma
Samaj.
Menjelang akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, perkembangan Hinduisme mengalami sebuah proses
pembalikan. Pada perkembangan sebelumnya, tradisi Hinduisme memperkeras
posisinya untuk mempertahankan otoritas Weda karena di bawa tekanan
Buddhisme, Jainis medan Materialisme. Di masa modern, walaupun Hinduisme
sekali lagi mendapat tekanan dari sumber Kristiani yang
rasional, modernis, dan reformis, Hinduisme tidak bereaksi dengan cara
yang sama. Hinduisme sekarang meninggikan religious di atasotoritas
religious dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda. Sri Ramakrisna kadang kala
melakukan penolakan terhadap Weda dan hanya menggunakanya sebagai simbul.
Kemudian Swani Vivekananda juga pada saat tertentu meremehkan
otorita Hindu berkata: “Jika saya mengutip sebuah teks dari Weda dan
memberikan arti yang tidak masuk akal… maka semua orang bodoh akan mengikuti
saya”. Dia tidak ragu untuk mengatakan ini dalam ceramah-ceramahnya.
Hampir semua tokoh-tokoh religius India di masa Modern seperti B.G.Tilak
(1856-1920), R.Tagore (1861-1941), Sri Aurobindo (1872-1950), dan Mahatma
Ghandi(1869-1948) ... semuanya mengambil inspirasi mereka dari Weda, walaupun
bukan otoritas Weda, dan bahkan Sri Ramana Maharshi (1879-1950)
mewajibkan pembacaan Weda secara teratur di ashram Tiruvannamalai.
Dr. Harun Hadiwijono, Agama Hindu
dan Budha. Jakarta h. 18
Michael Keene, Agama-agama Dunia,
Kanisius press.yogyakarta. h. 15
H.A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
H.A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
(gambar peradaban Lembah sungai Indus. Setelah mendiami areal seluas
ukuran Eropa barat di wilayah yang sekarang Pakistan dan India barat, daerah
itu dihuni sejak tahun 7000 SM. Meskipun menjadi salah satu peradaban kuno
terbesar, tidak banyak yang diketahui tentang peradaban Harappa, terutama
karena bahasa mereka belum bisa diterjemahkan.)
Peradaban Lembah Sungai Indus,
2800 SM–1800 SM, merupakan sebuah peradaban kuno yang hidup sepanjang Sungai
Indus dan Sungai Ghaggar-Hakra yang sekarang Pakistan dan India Barat.
Peradaban ini sering juga disebut sebagai Peradaban Harappan Lembah
Indus, karena kota
penggalian pertamanya disebut Harappa, atau juga Peradaban Indus
Sarasvati karena Sungai Sarasvati yang mungkin kering pada akhir 1900
SM. Panjang Sungai Indus kurang lebih 2900 kilometer. Pemusatan terbesar dari
Lembah Indus berada di timur Indus, dekat wilayah yang dulunya merupakan Sungai
Sarasvati kuno yang pernah mengalir.
Sisa peradaban Lembah Sungai Indus ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu
Mohenjodaro dan Harappa. Kebudayaan Indus ini didukung oleh bangsa Dravida yang
berbadan pendek, berhidung pesek, berkulit hitam, berambut keriting. Kebudayaan
Indus berhasil diteliti oleh seorang arkeolog Inggris, Sir John Marshal, yang
dibantu Banerji (orang India).
Mata pencaharian bangsa Dravida adalah bercocok tanam, yang
dibuktikan dengan ditemukannya cangkul, kapak, dan patung Dewi Ibu yang
dianggap lambang kesuburan. Hasil pertanian berupa gandum dan kapas. Sudah ada
saluran irigasi untuk mencegah banjir serta untuk pengairan sawah-sawah rakyat.
Dalam perdagangan terlihat adanya hubungan dengan Sumeria di Lembah Eufrat dan
Tigris, yang diperdagangkan adalah keramik dan permata.
Perkembangan kepercayaan Lembah
Sungai Indus.
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah
mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi
suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran
jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak
terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke
dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar,
disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah
tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja
orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak
lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang
lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan
pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk.
Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi
binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan
lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada
materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan
adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan
seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.Sudah
mengenal sistim kepercayaan menyembah banyak dewa (politeisme) serta segala
sesuatu yang dianggap keramat. Contohnya adalah pohon pipal dan beringin yang
oleh umat Buddha dianggap pohon suci, binatang yang dipuja adalah gajah dan
buaya.
Kita tidak tahu banyak tentang
peradapan Lembah Indus. Namun, patung-patung para dewi yang dibuat pada
zamannya memberi kesan bahwa orang-orang Lembah Indus sangat menekankan
pentingnya kesuburan wanita. Beberapa dewa dan dewi Hindu, seperti Shiva,
mungkin merupakan keturunan dari para dewi yang hidup pada zaman sebelumnya.
A.
Periodisasi Sejarah Agama Hindu
Agama
Weda
Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, didalam mendekati dan
menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam.
Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam.
Zaman Weda, merupakan zaman sejak masuknya bangsa Arya di Punjab hingga
timbulnya agama Budhha pada kira-kira tahun 500 SM. Zaman ini dapat dibagi lagi
menurut pertumbuhan kitab-kitab yang menjadi sumber hidup keagamaan pada zaman
ini, menjadi :
a. Zaman Weda purba atau zaman Weda
Samhita, dimulai dari tahun 1500 SM hingga kira-kira tahun 1000 SM. Pada zaman
ini bangsa Arya massih berada di Punyab, yaitu daerah Sungai Indus atau Sindhu.
Di sini belum banyak terdapat penyesuaian diri dengan peradaban India purba.
b. Zaman Brahmana, kira-kira tahun 1000 SM hingga
kira-kira tahun 750 SM. Pada zaman ini para imam, yaitu para Brahmana, sangat
berkuasa dan menimbulkan kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya
dibandingkan dengan kitab-kitab Weda Samhita. Sekarang penyesuaian diri dengan
peradaban India purba sudah lebih maju, sehingga timbul jiwa baru.
c. Zaman Upanisad, tahun 750 SM hingga
tahun 500 SM. Pada zaman ini pemikiran secara falsafah mulai berkembang. Pusat
peradaban berpindah dari Punyab ke Lembah Gangga.
Pada zaman ini kehidupan keagamaan
orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang
disebut Weda Samhita, yang berarti perkumpulan Weda.
Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). Menurut tradisi
Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan
oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta dalam bentuk mantra-mantra,
yang kemudian disusun sebagaian puji-pujian oleh para resi tadi sebagai
pernyataan rasa hatinya.
Unsure-unsur
dasar agama Weda :
1. Percaya dan takut kepada daya-daya
kekuasaan
2. Ritus untuk mempengaruhi daya-daya
kekuasaan
3. Kesadaran akan adanya tata tertib
kosmos
4. Kecenderungan kepada mistik
Sejak zaman dahulu orang memberi penghargaan yang istimewa
terhadap pengasingan diri untuk bermeditasi (bersemadi). Pengetahuan yang
didapat orang dari meditasi, dianggap sesuatu yang lebih tinggi dari pada
pengetahuan yang dicapai dengan akal. “Meleburkan diri dalam daya-daya
kekuasaan dan menjadi satu dengan daya-daya kekuasaan tersebut” diusahakan
dengan bermacam-macam cara. Maka disebutlah “orang yang tajam tiliknya para
rsi, yang dengan jalan demikian dapat mengetahui rahasia-rahasia Dunia, hidup,
dan rahasia-rahasia ritus persembahan.
Sebagai wahyu dewa yang tertinggi, maka Weda-weda itu
disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa yang didengar, yaitu didengar
dewa yang tertinggi. Orang Hindu yakin, bahwa Kitab-kitab Weda adalah napas
Tuhan, kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan kepada
para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar kebenaran itu. Bentuk yang
diwahyukan tadi adalah mantra-mantra.
Sesudah
dibukukan, mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita),
yaitu :
a. Rg-Weda, berasal dari kata “Rig”
yang berarti memuji kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para Dewa dalam
bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi lagi dalam
beberapa bait . Rg-Weda berisi mantra-mantra dalam bentuk puji-pujian, yang
digunakan untuk mengundang para dewa, agar berkenan hadir pada upacara-upacara
kurban yang akan diadakan bagi mereka. Imam-imam atau pendeta yang mengadakan
puji-pujian ini disebut Hort.
b. Sama-Weda, hampir seluruh isinya
diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Rg-Weda
ialah puji-pujian di sini diberi lagu (Sama = lagu).imam atau pendeta yang
menyanyikan Sama-Weda disebut Udgatr. Menyanyikannya pada waktu kurban
dipersembahkan.
c. Yajur-Weda, berisi yajus atau rapal,
diucapkan oleh imam atau pendeta yang disebut Aswarya, yaitu pada saat
ia melaksanakan upacara kurban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja para
dewa, melainkan untuk mengubah kurban-kurban menjadi makanan dewa. Dengan
perantara rapal-rapal itu kurban serta bahan-bahan yang dikurbankan dengan para
dewa, dengan maksud supaya kurban tadi dapat diterima. Dapat dikatakan bahwa
denagn rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipakai untuk memenuhi keinginan
yang berkurban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa,
dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.
d. Atharwa-Weda, berisi mantra-mantra
sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan hidup keagamaan yang rendah,
seperti tampak di dalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi dimaksudkan
untuk menyembuhan orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan musuh dan
sebagainya. Upacaranya bukan diadakan untuk kurban, melainkan diadakan di
rumah.
Mula-mula kitab ini tidak diakui sebagai Kitab Suci, namun
lama-kelamaan diakui juga, sebab kepercayaan rakyat terhadap kitab ini sangat
kuat. Selain itu banyak raja yang mengambil pendeta-pendeta dari golongan ini
sebagai pendeta pribadinya.
Dengan ringkas kita melihat di dalam agama Weda hal-hal
seperti berikut :
a. Agama Weda tidak dapat di pahami
selain sebagai reaksi manusia terhadap pernyataan Allah, baik terhadap
pernyataan di dalam karya Allah, maupun di dalam syariat hukum taurat yang
tertulis di dalam hati manusia (Rm 1 dan 2). Tetapi itupun suatu reaksi, di
mana kelainan manusia berusaha untuk menindas kebenaran. Agama Weda adalah
suatu daya upaya manusia yang jatuh ke dalam dosa untuk menghindarkan diri dari
hukum Allah.
b. Di dalam agama Weda orang berdaya
upaya untuk mendekati dewa-dewa melalui dua jalan : physis dan etis. Melalui
garis physis yang ditentukan oleh pertentangan Indra – Vrta, dewa – sura, Arya
– Dashu, kosmos – chaos. Dan orang berusaha juga mendekati dewa melalui garis
rtik, yang ditetapkan oleh pertentangan : Waruna, penjaga “rta” – dosa manusia.
Kedua aspek dewa itu tidak dilihat sebagai satu hal, tetapi keduanya selalu
berlawanan. Indra dan Waruna berperang mati-matian. Dalam peperangan itu Indra
menang, artinya bahwa garis etik harus kalah di dalam agama Weda.
c. Kebimbangan terhadap pertanyaan
haruskah dewa dipandang sebagai pribadi ataukah sebagai suatu daya kekuatan,
tetap ada selama masa itu.
d. Oleh karena Waruna terdesak ke
samping agama Weda makin menggeser de dalam suasana egoisme. Agama menjadi
suatu daya upaya untuk merebut daya-daya kekuatan yang tersimpan di dalam
kosmos dengan persembahan dan mantera dan menggunakan daya-daya itu untuk
kepentingan-kepentingan egoistis.
e. Perkembangan agama Weda berlangsung
melalui dua garis. Yang pertama adalah garis spekulasi falsafi (renunagan
falsafi). Timbullah skeptisisme (kesangsian) terhadap dewa-dewa yang lama dan
orang berbalik kepada suatu zzat ilahi yang universal dan mujarad (abstrak)
sebagai zat segala zat. Inilah garis pantheistis (pantheisme ialah ajaran bahwa
segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan) yang terutama kelihatan jelas di
dalam berkas kesepuluh dari reg-Weda. Garis yang kedua ialah garis dekadensi
(kemunduran) kepada magi. Tiap-tiap perbuatan persembahan dianggap sebagai
berkekuatan magis. Orang brahmana menjadi ahli sihir. Hal ini terutama ternyata
didalam ajur weda dan di dalam antharwa-weda.
f. Dipandang dari sudut kepercayaan
kita, maka kita hanya dapat mengkonstatir bahea di dalam agama weda manusia
melarikan diri dari kekudusan Tuhan, manusia menundukan kemuliaan tuhan ke alam
insani.Tuhan di samakan atau diidentifikasikan dengan daya kekuatan yang
tinggal di dalam makhluk, atau di buat kabur menjadi suatu pengertian
falsafi. Dengan demikian ia dilukiskan sebagai dzat yang terdalam, inti
segala yang ada.
g. Di dalam agama hindu ada beberapa
pengertian yang kaitannya dengan kepercayaan, yaitu pengertian tentang Rta.
Yang dimaksud dengan pengertian Rta artinya ‘pergi’ kemudian berubah dalam arti
tata- tertib’. Di dalam kitab Weda kata Rta berarti tata tertin alam kosmos,
yang dianggap sebagai pencerminan dari adanya daya kekuatan dan daya kekuasaan
yang menciptakan dan mengaturnya. Kita lihat peredaran tata-surya, matahari,
bulan dan bintang yang tetap teratur. Hal ini berlaku tertin karena ditetapkan
dan diatur oleh Dewa Waruna, yaitu Dewa yang tertinggi, Yang Maha
Pencipta, dalam hal ini disebut Rtawan.
Oleh karena manusia adalah bagian dari alam semesta, maka
manusia harus juga tunduk kepada Rta. Dengan ia tunduk kepada Rta maka manusia
akan mencapai kehidupan yang harmonis, baik sesame manusia, baik dengan alam
lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi apabila manusia mengikuti Rta,
maka apa yang dirasakan, didengar dan dilihat akan di tanggapi sebagai sesuatu
yang indah manis dan nikmat. Bagi umat Hindu Rta terserap dalam Satya (kebenaran) bersama dengan Dharma sehingga merupakan
suatu keyakinan yang penting. Oleh karena Rta adalah pencerminan dari daya
kekuatan dan daya kekutan itu adalah Dewa Waruna, maka keberlangsungannya harus
dijaga. Untuk itu perlu adanya ritus, dan dengan dilaksanakannya ritus maka Rta
akan tetapn berjalan dengan tertib dan teratur. Oleh karenannya manusia
janganlah berbuat dosa, karena berbuat dosa berarti melanggar Rta dan berarti
menentang kekuasaan Tuhan.
1.
Dewa-Dewa
Dewa dalam Hinduisme membuat agama ini menjadi agama yang
penuh dengan keindahan.
Di dalam kitab Weda Samhita terdapat dua golongan yang kedudukannya lebih
tinggi dari manusia yaitu : Dewa-dewa pemurah terhadap manusia dan menerima
pujaan manusia, dan para roh jahat yang memusuhi manusia.
Kitab Rg-Weda menyebutkan adanya 33 dewata, yang dapat dibeda-bedakan atas dewa-dewa
langit, dewa-dewa angkasa, dan dewa-dewa bumi.
- Agni (Dewa api)
- Aswin kembar (Dewa pengobatan,
putera Dewa Surya)
- Brahma (Dewa pencipta, Dewa
pengetahuan, dan kebijaksanaan)
- Chandra (Dewa bulan)
- Durgha (Dewi pelebur, istri Dewa
Siva)
- Ganesha (Dewa pengetahuan, Dewa kebijaksanaan,
putera Dewa Siva)
- Indra (Dewa hujan, Dewa perang, raja
surga)
- Kuwera / Kubera (Dewa kekayaan)
- Laksmi (Dewi kemakmuran, Dewi
kesuburan, istri Dewa Visnu)
- Saraswati (Dewi pengetahuan, istri Dewa
Brahmā)
- Shiwa (Dewa pelebur)
- Sri
(Dewi pangan)
- Surya (Dewa matahari)
- Waruna (Dewa air, Dewa laut dan
samudra)
- Wayu / Bayu (Dewa angin)
- Wisnu (Dewa pemelihara, Dewa air)
- Rudra (Dewa badai)
- Dhara (Dewa Bumi)
- Anala (Dewa Api)
- Anila (Dewa angin)
- Dhruva (Dewa bintang kutub)
- Soma (bulan)
- Prabhasa (Dewa fajar)
- Pratyusa (Dewa sinar)
- Dattatreya
- Savitr
- Yama (Dewa kematian)
- Satya (Dewa kebenaran)
- Kratu (Kehendak)
- Daksa (Dewa keterampilan)
- Kala (Waktu)
- Kama (Keinginan)
- Dhrti (Dewa kesabaran)
- Pururavas (Dewa atmosfir)
- Madravas (Dewa kegembiraan)
Vasu
merupakan sekelompok Devata yang jumlahnya delapan, terutama dikenal sebagai
pengiring Indra. Kata Vasu diambil dari akar kata ‘vas’ (bertempat tingal,
menyebabkan bertempat tinggal, bersinar) sehingga vasu merupakan devata yang
menyatakan segala wilayah luas atau ruang dan ketinggian.
Delapan
vasu tersebut adalah : Dhara, Anala, Ap, Anila, Anala, Dhruva, Soma, Prabhasa,
Pratyusa.
Karena karya Waruna inilah maka langit dan
bumi dipisahkan, pelajaran matahari, bulan, dan bintang teratur, sungai-sungai
mengalir dengan baik, musim-musim datang pada waktunya dan sebagainya. Selain
itu Rta juga dipandang sebagai tata tertib susila. Sebagai pengawas rta, Waruna
juga memberikan hadiah atau pahala kepada yang baik dan menghukum kepada
yang jahat. Orang yang baik ialah orang yang mengikuti hukum Rta.
Dewa yang lain ialah Surya, yang digambarkan sedang berkereta ditarik oleh 7
ekor kuda. Dewa ini dapat memperpanjang hidup, mengusir penyakit dan
sebagainya.
Dewa Wisnu juga termasuk dewa langit, tetapi pada zaman ini belum memegang
peranan yang penting. Tentang dewa ini hanya disebutkan, bahwa ia melangkahkan
tiga langkah. Langkah yang ketiga itulah langkah yang tertinggi. Itulah sorga
tempat kediaman para dewa-dewa.
Yang termasuk dewa-dewa angkasa di antaranya adalah Indra, yang merupakan dewa
terpenting. Seperempat kidung dalam Rg-Weda ditujukan kepadanya. Indra adalah
Raja para dewa ia adalah dewa hujan yang bersenjatakan petir, dewa langit
pengumpul awan dan dewa kemenangan. Ia juga bernama Surapati (sebagai
raja para dewa), Vrtahan (sebagai dewa hujan yang membunuh naga Vrta
yang menyembunyikan air dalam gua selam musim kemarau). Indra sering diletuskan
secara antropomorfis : mempunyai tubuh, tangan, kaki, bibir, rahang, dan
jenggot. Indra diyakini sebagai dewa yang selalu melepaskan air yang member
hidup yang kemudian mengalir kesamudra dan dalam perjalanannya selalu
memperkaya dan mempersubur bumi.
Setelah Indra dewa yang terpenting adalah Agni yang dianggap sebagai
perantara dewa dan manusia. Dewa inilah yang meneruskan puji-pujian dan kurban
bakar kepada para dewa yang dimaksud, Agni pula yang mendatangkan para
dewa ketempat-tempat sesaji dengan bunyi-bunyian dalam arti. Setiap rumah orang
Hindu biasanya mempunyai tiga macam api yaitu : untuk upacara harian (agnihotra)
dan sampai saat ini masih terdapat dikalangan keluarga Pandit yang ortodoks
; api untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan
purnama dan api untuk upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur.
Mengenai upacara-upacara masih ada lagi upacara yang dilakukan empat bulan
sekali upacara lainnya adalah upacara pengangkatan Altar api yang disebut
dengan Agnicayana, biasanya dilakukan menggunakan sebongkah batu yang
berbentuk seekor burung.
Selanjutnya dewa yang terpenting setelah agni adalah Soma, dewa
minuman keras, yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut Soma
pula. Soma adalah minuman para dewa. Dalam upacara korban Soma dituangkan
sebagai persembahan kepada para dewa. Hal yang agak aneh ialah rasa hormat yang
luar biasa bukannya ditujukan kepada objek kritus itu sendiri tetapi hanya
kepada kekuatan Soma itu saja. Cairan sari tanaman Soma sangan memabukkan dan
digunakan untuk memperdaya dewa, orang-orang yang memujanya meminum cairan ini.
Karena minuman ini sangat memabukkan maka tentu akan mempegaruhi pandangan
orang yang terlibat dalam upacara. Dalam berkembangan selanjuttnya Soma bukan
hanya disamakan sebagai kekuatan saja, tetapi kemudian menjadi personifikasi
dari bulan yang selanjutnya diidentikkan dengan dewa Waruna yang berkuasa di
sorga. Bulan adalah tempat cairan soma yang dianggap sacral dan kebeningannya
yang indah berkilau karena sinar sorga dianggap sebagai sari penting dari raja
langit.
Dewa penting setelah agni adalah Waruna atau Aditya, putra Adity, dewi
kebaikan. Berkat kerja Waruna maka langit, matahari, bulan dan bintang dalam
tata surya dapat bekerja dengan baik dan sebagaimana mestinya. Sungai-sungai
mengalir dan musim silih berganti selaras dengan cosmos (alam) lain oleh karena
itu dosa adalah menyalahi tata tertib cosmos, dan agar kembali normal perlu
dilakukan sesembahan kurban dan sesaji.
Sesudah dewa Waruna, ada beberapa dewa lain yang masing-masing kurang jelas
urutan kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (dewa matahari), Wisnu,
si kembar Aswin atau Nasatya (dewa alam pagi hari) yang
kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas (dianggap sebagai dewa fajar), Merut
(dewa taufan dan angin rebut), Rudra (dewa taufan dan petir), Parjanya
(dewa hujan), dan Saraswati (dewa sungai yang kemudian dianggap
sebagai dewi ilmu pengetahuan). Dewa-dewa penting sebagai personifikasi
kekuatan alam adalah dewa Prajapati (penguasa alam dan segala makhluk), Wiswakarman
(dewa pencipta), Brhamanaspati atau Braspati (dewa
personifikasi pembuatan manusia alam sesaji), Widhatar (dewa guntur).
Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali dewa, namun ia tidak dapat
dikatakan politeistis karena ternyata dewa tertentu yang sedang dipuja selalu
dianggap sebagai dewa tertinggi yang memiliki segala kekuatan para dewa
yang lain. Dengan demikian yang ada hanya satu dewa tertinggi saja yang
memiliki kekuatan para dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu
barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteistik
(henoteisme). Max Miller juga menghindari istilah monoteisme atau politeisme
dalam ketuhanan agama Hindu. Ia menggunakan istilah “henoteisme” karena ada
kecenderungan melukiskan semua kekuatan pada tuhan tertentu dan utama yang ada dalam
pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan yang
Lenoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteistik
(kathenotheism) karena dalam agama ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan
dan mengagungkan hanya satu dewa yang maha tinggi yang diperlakukan sebagai
objek tunggal, akan tetapi dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.
2.
Roh-Roh (Jahat)
Menurut kepercayaan Weda kuno, selain para dewa masih ada
lagi roh-roh jahat. Roh jahat ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi
musuh para dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau
(Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaanya adalah Raksa dan Pisaca (pemakan
bangkai). Raksa sering menampakkan diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi
roh “halus” seperti gandarwa, yaksa, bhuta, dan raksasa.
Arwah leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan
agama Weda ini. Apabila orang meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam
bahagia tetapi masih mengembara dalam keadaan menderita. Jiwa semacam ini
disebut dengan preta, dan sangat membahayakan. Oleh karena itu
keturunannya, anak cucu terutama anak laki-lakinya, perlu mengadakan upacara
sesembahan dan menyelenggarakan upacara korban supaya preta segera sampai
kealam bahagia yaitu alam pitara. Raja para pitara adalah dewa Yama.
3.
Korban dan Praktek Keagamaan
Korban
Setiap yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu adalah
perwujudan dari pengamalan ajaran agama. Karena itu setiap aktivitas beryadnya
termasuk dalam sebutan “upacara agama”. Dasarnya, bahwa setiap pelaksanaan
yadnya didasari atas sumber hukum berupa kitab suci Weda baik dalam katagori
Sruti (wahyu) maupun Smrti (tafsir wahyu).
Weda Sruti sebagai sumber dari segala pelaksanaan ajaran agama Hindu. Sedangkan
Weda Smrti merupakan penjabaran suratan Weda yang sudah disiratkan.
Kongkretnya lagi, Weda Sruti sebagai rumus-rumus agama
sementara Weda Smrti berperan selaku kamus-kamus petunjuk pelaksanaannya. Apa
yang kemudian disebut sebagai upacara adat sebenarnya merupakan bentuk-bentuk
tafsir ajaran Weda yang ditradisikan. Inilah yang diistilahkan sebagai tradisi
Weda, artinya suatu bentuk kegiatan atau aktivitas suatu masyarakat (mis.
Bali), yang berdasarkan atas ajaran agama Hindu yang sudah men-desa-kala-patra.
Lebih sederhananya lagi upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di
Bali merupakan bentuk penjabaran Weda menurut nuansa tradisi. Tetap ingat,
tidak semua tradisi masyarakat Bali itu dapat disebut sebagai upacara adat.
Yang dapat disebut upacara adat hampir selalu dicirikan oleh
nuansanya yang agamais. Atau dengan kata lain upacara adat itu adalah tradisi
yang dijiwai oleh unsure-unsure keagamaan. Contoh : upacara ngaben, penggunaan
wadah, jempana, lembu merupakan tradisi yang hanya dibuat oleh masyarakat Hindu
di Bali. Sedangkan esensi keagamaannya terlihat pada upacara pembakaran mayat
dengan konsep mempercepat proses pengembalian (pemralina) unsure-unsure
Pancamahabutha sang mati. Unsure agama lainnya, doa, japa, mantra dan yadnya
yang digelar sebagai pengantar, pengharap agar arwah sang mati mendapat jalan
lapang sesuai karma dan bhaktinya menuju alam-Nya.
Perihal bunyi kitab suci Bhagavadgita IX.26 yang meyebutkan
sarana persembahan berupa bunga, buah, air dan daun yang tidak bersifat
mengikat tetapi kenyataannya masih diatur lagi sehingga tidak semua jenis bunga
misalnya yang dapat dipakai sarana upacara atau upakara yadnya dapat diberi penjelasan
dengan membandingkan di sekala. Untuk itulah ada buku atau lontar yang
menjabarkan tentang jenis bunga yang bisa dan tidak dipakai dalam persembahan.
Yang pasti setiap sarana persembahan patut mengacu pada persyaratan seperti :
Sukla (belum pernah diaturkan), tan leteh (tidak bernoda atau cemar), tidak
didapat dari perbuatan jahat (mencuri) dan sesuai dengan sastra (petunjuk
lontar) serta dresta (tradisi).
Umat Weda memulaikan para leluhur mereka dengan
menyelenggarakan upacara korban, upacara korban, yang selain dilakukkan dengan
harapan supaya para dewa melindungi manusia dari roh jahat, juga supaya para
dewa memberikan kelancaran, kemurahan serta ketentraman. Tujuan utama upacara
korban dalam agama Weda ini ialah terjaminnya tata tertib kosmos.
Dua macam upacara korban simbolik yang penting ialah :
pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik
dalam kitab Rg-Weda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani
korban untuk penciptaan dan kedua adalah korban sarwameda di mana
manusia mengakui ke maha kuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa
melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.
Selain itu masih ada korban Rajasanya, korban untuk
pengobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarakan dengan upacara yang disebut
Aswemeda. Untuk keperluan sehari-hari korban dilakukan oleh kepala
keluarga yang diselenggarakan di api keluarga. Ada pula upacara korban yang
diselenggarakan di rumah-rumah atau di altar. Dari segi penyelenggaraan, korban
yang dilakukan hanya oleh seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan.
Biasanya korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang
sangat diutamakan biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah
menyitir bait-bait yang terdapat dalam Rg-Weda. Pendeta Adwaryu juga
penting karena dalam penyelenggaraan korban ini diperlukan
persiapan-persiapan yang cermat.
Di kalangan rakyat umum terdapat beberapa upacara korban
sebagai upacara siklus kehidupan. Di beberapa tempat, upacara
tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang sangat
sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh
pemilik rumah selaku penanggungjawab anggota keluarganya. Upacara ini juga
mementingkan api.
Praktek
Keagamaan
Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang pada zaman ini ialah kurban.
Kurban-kurban itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan
dewa-dewa, menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan memuja para
leluhur.
Pada hakikatnya kurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa itu bersifat
permohonan, yaitu mohon keuntungan-keuntungan bagi hari depan, sehingga kurban
ucapan syukur bagi hal-hal yang sudah dialaminya tidak ada.
Dengan kurban itu mereka bermaksud untuk menggerakkan hati para dewa sehingga
mereka berkenan mengabulkan permohonan yang diajukan bersamaan dengan
kurban-kurban itu.
Ada dua macam kurban, yaitu kurban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada
waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi,
musim hujan, dan musim dingin.
Disamping itu ada kurban berkala,yang dikurbankan jika ada keperluan,
umpamanya kurban sama, aswameda atau kurban kuda, rajasuya, dan
sebagainya.
Kecuali kurban-kurban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan
orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4
bulan, yaitu waktu diajak berpergian untuk pertama kali, atau juga waktu anak
makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan
sebagainya. Demikianlah seluruh kehidupan orang pada zaman itu diliputi oleh
upacara-upacara keagamaan.[14]
Zaman Klasik
Spekulasi
canggih serta mistisisme intelektual ternyata tidak dapat
spekulasi aspirasi religius manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi
sekelompok kecil arif-bijaksana yang memisahkan diri dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
(a) Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja
yang baik.
(b) Interprestasi
yang rasuonal terhadap masalah kehidupan manusia.
(c) Penolakan terhadap ritualisme serta menghormati
kehidupan dunia hewan.
(d) Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada
siapa manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.
Jika para pertapa dan arif- bijaksana membimbing
beberapa murid dalam menjalankan mistisisme metafisis, maka kasta Brahmana
mengembangkan teks-teks ritual rumit yang dikenal sebagai sutra. Reaksi
populer tervermin dalam gerakan-gerakan seperti buddhiesme, Jainisme,
Shaivisme, dan Vaishnavisme.
Menurut Arvind Sharma, terdapat dua bentukreaksi
terhadap ritual qorban model Weda, yakni eksterbal dan internal. Teks-teks
Upanishad yang mengkritisi tradisi sebelumnya, namun masih tetap
mendudukkan serta mengidentifikasikan diri dengan Weda. Namun pada abad ke-6
S.M., muncul dua gerakan utama yang mendudukkan diri mereka di luar kekolotan
hukum Weda, yakniBuddhisme dan Jainisme. Dalam menghadapi tantangan inilah
Hinduisme lantas memulai meredefinikasi dirinya. Buddhisme dan Jainisme memang
menolak otoritas atau tradisi weda, terutama mengenai komitmen terahadap tujuan
serta kehidupan duniawi, instuisi kasta dan tahap-tahap kehidupan, paling tidak
sebagian, jika tidak seluruhnya. Hinduisme merumuskan dirinya dalam menghadapi
tantangan ini, dengan menyatakan validalitas weda serta hukum kasta (varna)
dan tahap-tahap kehidupan (asrama). Pada mulanya gerakan Hinduisme dan
Jainisme menarik banyak perhatian orang dan menjadi kekuatan yang cukup besar.
Jika kita melihat bukti-bukti arkeologis dari abad ke-2 S.M, ,aka bukti
menunjukkan bahwa gelombang pasang sedang memihak kepada Hinduisme, dan
sejumlah besar orang asing yang masuk ke India pada waktu itu juga menjadi pengikut
Budhisme.
Namun lambat laun gelombang pasang tersebut berbalik.
Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar 300 M, memberikan tanda
kebangkitan kembali Hinduisme. Pada abad lke- 3 sampai abad ke-10, Hinduisme
telah berhasil secara gekilang mendudukkan diri sebagai agama dominan di India.
ketika Fa Hsien mengunjungi India pada abad ke-4,
Buddhisme memang sedang berkembang, dengan pesat, tetapi tanda-tanda
kebangkitan Hinduisme juga sudah tampak jelas. Demikian juga dari catatan I
Ching yang kemudian juga berkunjung ke India. Kemudian Hsuan-Tsang meminta agar
kutipan dari Rig-Weda dikirim kepadanya setelah ia kembali ke cina, dan seorang
raja Hindu memintanya untuk menerjemahkan Tao Te Ching ke dalam bahasa
Sansekerta. Hal ini membuktikan adanya interaksi baik antara Hinduisme dan
Buddisme, yakni: antara India dan Cina pada saat itu. Kebangkitan
Hinduisme di masa Klasik terkait erat dengan kebangkitan dan kesadaran akan
Weda, yang secara grafis digambarkan lewat imajinasi raksasa seekor babi yang
meruoakan inkarnasi dewa Wishnu, yang menyelamatkan bumi dari kejatuhannya.
Buddhaisme dan Jainisme
Bersama-sama dengan kaum Materialis (Carvaka), ketiga
aliran ini disebut nastika, artinya tidak menerima otoritas Weda. Mereka juga
dimasukkan ke dalam golongan ‘heterdoks’ (tidak-ortodoks). Sedangkan
ke-enam aliran filsafat (shad-Darsana) yang disebut astika adalah yang menerima
otoritas Weda disebut juga sebagai golongan ‘ortodok’. Keduanya mengajarkan
doktrin etika yang menekankan kesucian lehidupan hewani, sehingga berada di
luar jangkauan Hinduisme kolot, karena penolakan mereka terhadap Weda sebagai
kitab suci. Kita akan membahas kedua aliran ini di bagian belakang buku in.i
Shaivisme dan Vaishnavisme
Kedua
aliran ini merupakan gerakan teistik yang sulit dilacak asal-usulnya dan
memainkan peranan sangat penting dalam perkembangan Hinduisme berikutnya.
Shaivisme atau agama shiva tampaknya dimulai sekitar abad ke-6 S. M. Dengan
menyembah dewa Rudra dalam kitab Weda. Namun segera dewa Rudra digantikan
oleh shiva yang merupakan dewa kaun non-Aryan. Shiva dapat masuk kedalam tubuh
yang sudah mati serta muncul dalam wujud manusia unutk mewahyukan agama baru.
Doktrin devosi (Bhakti) yang diajarkan dalam Bhagavata dikatakan
telah diwahyukan oleh Vasudeva-Krisna. Ajaran ini disebut ‘Agama devosi
tunggal’ (akantika-Dharma). Hal ini terkait dengan Bhagavad-Gita yang ditulis
sekitar abad ke-4 atau ke-3 S.M. Ajaran Gita ditulis secara terpisah sebagai
bab tersendiri. Kemudian Vasudeva-Krisnadiidentifikasikan dengan dewa Wishnu
dan seluruh gerakan berkembang menjadi agama Wishnu (Vaisnavism). Kedua
epos, yakni Mahabharata dan Ramayana kemudian menjadi sarana
pemikiran religius serta devosi bagi masyarakat.
Dalam
Mahabharata, terdapat gambaran tentang perkembangan agama Shiwa dan agama
Wishnu yang mengkristal dalam cerita epos. Rama sebagai tokoh utama dalam epos Ramayana
dibuat menjadi jelmaan (avatara)dari dewa Wishnu dan teks Ramayana
lantas menjadi teks suci kaum Vaishnavisme.
Perkembanga agama populer membentuk sebuah
tantangan bagi tradisi ritual Weda serta mistisisme metafisis awal. Untuk
memenuhi tantangan ini, maka para ritualis dan metafisikawan mulai merumuskan
serta menyistemkan ini melahirkan berbagai sistem filsafat India. Ada enam
sistem (Shad-Darshana), yakni: Nyanya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga,
Purva-Mimamsa dan Vedanta.
Sekitar 2500 S.M. sudah terdapat
corak penghidupan manusia dengan kebudayaan yang cukup tinggi di anak benua
India dengan penghidupan secara berkelompok di kota-kota di daratan Indus
dengan pusat-pusatnya di Mohenjodaro, Harappa dan juga di daerah-daerah lain
seperti di Gujarat dan Rajasthan. Dari segi ilmu sejarah, tidak banyak terdapat
peninggalan bahan-bahan atau tulisan-tulisan tentang zaman purbakala di India.
Zaman Permulaan
Sekitar 1500 S.M. datanglah ke anak benua India bangsa-bangsa yang semula
mendiami daerah-daerah sekitar Laut Kaspia, yang dalam sejarah India dikenal
sebagai bangsa Arya atau Indo-Arya. Bangsa Arya ini mula-mula menetap di daerah
Punjab (India Barat Laut) yang kemudian meluas ke daerah sungai Gangga dan
daerah-daerah lain di India. Mereka membawa kepercayaan, filosofi dan
kebudayaan mereka ke India, yang kemudian menyatukan diri dengan kebudayaan di
India pada waktu itu.
Lama kelamaan mereka berhasil mencapai taraf peradaban dan kebudayaan yang
tinggi dengan menemukan suatu bahasa, yang kemudian dikenal dengan bahasa
Sanskrit, yang mereka pergunakan dalam nyanyian-nyanyian keagamaan mereka yang
dinamakan dengan “Rigveda” untuk memuja dewa-dewa dan kepercayaan mereka.
Zaman Arya ini menyaksikan lahirnya kerajaan-kerajan di India dan masa ini
berlangsung sampai abad ke-7 S.M. Pada abad ke-6 S.M. terjadilah pernyebuan ke
India oleh bangsa-bangsa Parsi, yang karena kebudayaan dan teknik mereka yang
lebih tinggi berhasil menduduki dataran India dengan membawa arsitektur dan
cara penghidupan mereka. Zaman Parsi ini juga dinamakan dengan zaman empirium
(Period of Empires) dalam sejarah India, dengan berdirinya empirium-empirium
seperti Magadha dengan raja-raja Bimbisaura dan Ajatasatru. Pada abad ke-6
inilah lahir Budha Gautama dan Mahavira. Zaman Parsi ini juga membuka
perhubungan lalu lintas antara India dengan negara-negara di sebelah
baratnya.
Pada tahun 326 S.M. pasukan-pasukan Iskandar yang agung menyerbu India dan
berhasil menduduki daerah India Barat Laut. Meskipun tidak meninggalkan
pengaruh politik yang besar, tetapi nyatanya untuk waktu yang cukup lama,
mitologi dan kebudayaan di bagian Barat Laut India banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Yunani.
Pasukan-pasukan Iskandar yang agung akhirnya dapat dikalahkan oleh Raja Chandra
Gupta. Cucu Chandra Gupta, yaitu Ashoka menjadi raja yang sangat terkenal dalam
sejarah India. Raja Ashoka ini yang secara terus-menerus telah mengalami kepahitan
perang akhirnya memeluk agama Budha dan dibawah pemerintahannya banyak
mengirimkan misi-misi agama dan kebudayaan ke negara-negara di Asia Selatan,
Timur dan Tenggara. Dan dalam masa 900 tahun berikutnya, India mengalami zaman
perdamaian dimana kerajaan-kerajaan dapat berkembang, yang pada masa sekarang
ini masih dapat dilihat sisa-sisanya dalam bentuk pemahatan batu dan
candi-candi.
Zaman Pertengahan
Pada abad ke-8 pedagang-pedagang Islam dari Asia Barat datang ke India.
Pengaruh agama dan kebudayaan Islam meluas ke seluruh India dan pada abad ke-13
berdirilah Kesultanan Delhi yang melahirkan suatu dinasti Islam di India selama
beberapa abad lamanya. Berdirinya Kesultanan Delhi pada abad ke-13 ini, dalam
sejarah India dianggap sebagai permulaan zaman pertengahan dan dimulainya Zaman
Mughal.
Penyatuan kebudayaan Islam dan Hindu membawa kejayaan bagi India yang tercermin
dalam seni, sastra, bahasa dan arsitekturnya. Pada abad ke-13, 14 dan 15
tersebut, India menyaksikan lahirnya pujangga-pujangga besar seperti Amir
Khusrau dan raja-raja besar yang telah memerintah India dengan arif dan
bijaksana seperti Akbar (disebut juga sebagai The Greatest Mughal Emperor) dan
Shahjahan, dua orang raja Mughal yang sangat terkenal. Hingga sekarang masih
tampak dengan jelas peninggalan-peninggalan Islam di India dengan terdapatnya
mesjid-mesjid dan makam-makam Islam di seluruh India seperti Taj Mahal dan lain
sebagainya.
Kemunduran Islam di India terjadi pada tahun 1707 setelah wafatnya Raja Aurangzeb.
India terpecah belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang saling bermusuhan dan
berperang, yang memudahkan bangsa-bangsa Barat masuk ke India. Dalam sejarah
India, Bahadur Shah Zafar dianggap sebagai penguasa dinasti Mughal yang
terakhir. Ia pernah melancarkan pemberontakan terhadap Inggris, tetapi
pemberontakan tersebut dapat ditindas Inggris pada tahun 1857.
Zaman Penjajahan
Orang Barat pertama yang menginjakkan kakinya di India ialah Vasco de Gama pada
bulan Mei 1498 di Kalikut, tetapi ia tidak berhasil untuk menetap di sana.
Kemudian usaha tersebut diulanginya pada tahun 1501 dan berhasil mendirikan
tempat kedudukan bagi Portugis di Kannanore, Kochin dan Kalikut. Bangsa-bangsa
barat lainnya seperti Spanyol, Belanda dan Inggris berturut-turut datang ke
India dengan maksud yang sudah cukup terkenal dalam sejarah bangsa-bangsa Barat
di Asia. Dengan keadaan yang sudah terpecah-belah diantara bangsa-bangsa di
India sendiri, maka orang-orang Barat tersebut berhasil menduduki tempat-tempat
penting di pantai selatan India yang kemudian melebar dan akhirnya Inggris
jualah yang memenangkan kekuasaan di anak benua India.
Kekuasaan Inggris di India dimulai dengan berdirinya English East India Company
pada tahun 1600 yang semula lebih bersifat dagang, dan kemudian dibarengi
dengan penguasaan secara fisik dan politis, yang mencapai puncaknya dalam
pertempuran Buxar pada tahun 1756 melawan raja-raja India. Kemenangan Inggris
dalam pertempuran itu membuat Inggris berhasil menguasai daerah-daerah
Benggala, Bihar dan Orissa yang kemudian dalam kurun waktu yang kurang dari
setengah abad disusul pula dengan penguasaan terhadap daerah-daerah lain di
India.
Pada tahun 1824 Pemerintah Inggris mengambil alih kekuasaan terhadap English
East India Company dari India dan dengan demikian secara mutlak mendudukkan
kekuasaannya terhadap negara ini. Meskipun demikian, Inggris masih mengizinkan
berdirinya kerajaan-kerajaan kecil yang dikepalai oleh pangeran-pangeran.
Inggris juga menempatkan seorang Gubernur Jenderal di India sebagai Wakil
Mahkota dan Pemerintahnya. Ahli-ahli sejarah India menganggap zaman penjajahan
Inggris tersebut sebagai suatu proses modernisasi yang menguntungkan bagi
penyatuan seluruh wilayah India secara politis dan administratif dan berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat. Demikian juga
menjelang abad ke-19 diletakkan dasar-dasar pembangunan industri serta
peningkatan lembaga-lembaga pendidikan di
India.
.
Gerakan kemerdekaan dan perasaan kebangsaan India mulai timbul pada pertengahan
abad ke-19 dengan meletusnya suatu pemberontakan yang dipimpin oleh raja-raja
India pada tahun 1857, tetapi berhasil ditindas oleh Inggris. Gerakan
kemerdekaan tersebut mencapai suatu bentuk yang lebih nyata dengan berdirinya
Indian National Congres pada tahun 1885 yang pada tahun 1905 menuntut
diadakannnya “Swaraj” (self-rule): dari-oleh-untuk bangsa
India.
Kemudian pada tahun 1906 didirikan pula Indian Muslim League untuk menyatukan
dan menjamin kepentingan-kepentingan orang Islam di India. Dari sinilah
sebetulnya awal permulaan lahirnya negara Pakistan.
Demikianlah selama kurang lebih setengah abad lamanya, gerakan kemeredekaan
India menuntut kemerdekaan penuh bagi India. Pemimpin-pemimpin terkenal dalam
gerakan ini antara lain ialah Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru dan Mohd. Ali
Jinnah. Pada tahun 1935, Inggris mengumumkan “The Government of India Act” yang
merupakan Undang-Undang Dasar untuk pemilihan dewan-dewan perwakilan di
negara-negara bagian. Banyak kedudukan dalam dewan-dewan tersebut dimenangkan
oleh National Congress dan Muslim League.
Dan pada tahun 1940, untuk pertama kalinya, Muslim League menuntut satu negara
khusus untuk orang-orang
Islam.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, tuntutan kemerdekaan makin mendesak
kepada Pemerintah Inggris yang menghasilkan dibentuknya suatu Constituent
Assembly, tetapi Muslim League tidak bersedia ikut serta dalam Constituent
Assembly ini dan tetap menuntut dibentuknya suatu negara tersendiri bagi
penduduk Islam India. Tuntutan kaum Muslim itu akhirnya dipenuhi oleh Inggris
dengan pembentukan negara Pakistan. Pada tanggal 15 Agustus 1947, Inggris
memberikan kemerdekaan kepada India dan Pakistan.
Zaman Kemerdekaan
Setelah berhasil menanggulangi dua masalah besar pada awal kemerdekaannya,
yaitu perpindahan penduduk secara besar-besaran akibat terpecahnya bekas
jajahan Inggris ini menjadi India dan Pakistan serta masalah pengintegrasian
k.l. 600 kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh pangeran-pangeran ke
dalam Negara Kesatuan India, India mulai menyusun kerangka kehidupan
kenegaraannya dalam bentuk suatu Undang-Undang Dasar yang mulai berlaku pada
tanggal 26 Januari 1950. Sejak tanggal ini pula India resmi menjadi Republik India
dengan Presiden sebagai Kepala Negaranya dan Perdana Menteri sebagai kepala
Pemerintahannya.
Salah satu tujuan India adalah untuk mencapai kemerdekaan ekonomi yang
diusahakan melalui pembangunan ekonomi dan sosial berencana melalui berbagai
Repelita yang dimulai sejak April 1951. Dalam masa lebih dari 30 tahun ini
India telah berhasil membangun industri-industri berat dan mendidik
tenaga-tenaga teknologi yang menjadi landasan untuk pembangunan
industri-industrinya lebih lanjut (seperti: mobil, pesawat terbang, tank dan
persenjataan, mesin-mesin dan generator-genarator berat, kereta api dan
sebagainya). Selain itu dalam beberapa tahun terakhir ini India juga telah
berhasil mencukupi kebutuhannya sendiri akan bahan-bahan pangan.
Disamping prestasi-prestasinya tersebut, India masih menghadapi berbagai
tantangan dalam pengintegrasian nasional, seperti usaha penerapan bahasa Hindi
sebagai bahasa nasional, pertentangan komunal (Hindu-Muslim) dan bahkan
pertentangan antar kasta yang belum kunjung
selesai.
Sejak kemerdekaannya, India beberapa kali mengalami konflik bersenjata dengan
negara-negara tetangganya, yaitu antara lain dengan RRC tahun 1962 mengenai
soal perbatasan dan dengan Pakistan tahun 1971 yang berakhir dengan perubahan
status Pakistan Timur menjadi negara Bangladesh.
Zaman Modern zaman Kemerdekaan
India
Pengaruh
kebudayaan Barat memberikan dampak menentukan bagi Hinduisme. Walaupun
Hinduisme popular dan tradisional tetap menguasai masyarakat umum,
namun orang-orang terpelajar sangat – sangat dipengaruhi oleh
ide-ide baru yang datang dari Barat. Rasionalisme dan
Positivisme cukup memikat pikiran orang-orang yang tidak puas dengan
Hinduisme tradisional. Berbagai gerakan reformasi dimulai, dimana Brahmo-Samaj,
Arya-Samaj,dan Ramakrisna Mission merupakan gerakan yang
paling penting , Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan
dengan Barat telah membuat penganut Hinduisme lebih sadar akan
keniscayaan untuk menjaga nilai-nilai tradisional Hinduisme, walaupun
mereka harus menyesuaikan diri dengan melintas modern.
Masuknya
orang-orang Inggris sebagai penjajah membuat Hinduis memenghadapi situasi yang
berbeda secara kualitatif. Serta masuknya penguasa Inggris mengurangi
kekuatan Islam, namun Hinduisme harus menghadapi sebuah kekuatan baru,
yakni agama Kristen.Pada saat yang sama, Hinduisme dihadapkan dengan
sebuah ancaman baru, yakni: saina, sekularisme dan humanisme.
Justru melalui inisiatif orang-orang Barat, pengetahuan tentang Hinduisme
ditemukan kembali dan termasuk studi atas kitab Weda. Dampak bagi pengikut
Hinduisme tampak dari pernyataan orang seorang tokoh nasionalis seperti
Swami Vivekananda bahwa Max Muller yang mengedit Rig-Weda
dimasa modern mungkin adalah reinkarnasi dari Sayana di masa kerajaan
Vijayanegara.
Walaupun ada
sejumlah unsur yang dipertimbangkan untuk menjelaskan kebangkitan kembali
Hinduisme setelah tahun 1800, namun dari sisi Hinduisme sebagai
system religious, orang harus mengenali peran Weda dalam
proses tersebut. Pada masa reformasi awal, justru issu tentang Weda dan
otoritas Weda muncul kembali kepermukaan. Tokoh reformasi
Hindu pertama adalah Raja Rammohun Roy berusaha
untuk membenarkan monoteisme yang berbasis Vedanta. Sekitar
1830, dia mendirikan gerakan Brahmo Samaj di
wilayah Bengal untukmelanjutkan perjuanganya.Kemudian di akhirabad ke-19, Swami
DayanandaSaraswati mendirikan gerakan Arya Samaj di Bombay,
memperkuatkeabsolutan Weda yang telah dicetuskan oleh gerakan Brahma
Samaj.
Menjelang akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, perkembangan Hinduisme mengalami sebuah proses
pembalikan. Pada perkembangan sebelumnya, tradisi Hinduisme memperkeras
posisinya untuk mempertahankan otoritas Weda karena di bawa tekanan
Buddhisme, Jainis medan Materialisme. Di masa modern, walaupun Hinduisme
sekali lagi mendapat tekanan dari sumber Kristiani yang
rasional, modernis, dan reformis, Hinduisme tidak bereaksi dengan cara
yang sama. Hinduisme sekarang meninggikan religious di atasotoritas
religious dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda. Sri Ramakrisna kadang kala
melakukan penolakan terhadap Weda dan hanya menggunakanya sebagai simbul.
Kemudian Swani Vivekananda juga pada saat tertentu meremehkan
otorita Hindu berkata: “Jika saya mengutip sebuah teks dari Weda dan
memberikan arti yang tidak masuk akal… maka semua orang bodoh akan mengikuti
saya”. Dia tidak ragu untuk mengatakan ini dalam ceramah-ceramahnya.
Hampir semua tokoh-tokoh religius India di masa Modern seperti B.G.Tilak
(1856-1920), R.Tagore (1861-1941), Sri Aurobindo (1872-1950), dan Mahatma
Ghandi(1869-1948) ... semuanya mengambil inspirasi mereka dari Weda, walaupun
bukan otoritas Weda, dan bahkan Sri Ramana Maharshi (1879-1950)
mewajibkan pembacaan Weda secara teratur di ashram Tiruvannamalai.
Dr. Harun Hadiwijono, Agama Hindu
dan Budha. Jakarta h. 18
Michael Keene, Agama-agama Dunia,
Kanisius press.yogyakarta. h. 15
H.A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
H.A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63