A.
Pendahuluan
Perkembangan agama Hindu-Budha tidak dapat lepas dari
peradaban lembah Sungai Indus, di India. Di Indialah mulai tumbuh dan
berkembang agama dan budaya Hindu dan Budha. Dari tempat tersebut mulai
menyebarkan agama Hindu-Budha ke tempat lain di dunia.[1]
Letak peradaban terbesar bangsa
India adalah teletak di Mohenjodaro dan Harapa. Suku asli India adalah bangsa
Dravida, yang kemudian eksistensinya sedikit demi sedikit tergusur loleh
kedatangan bangsa Arya dari Asia Barat[2].
Peradaban India sering disebut dengan peradaban sungai Indus yang dialiri oleh
lima anak sungai yaitu; Yellum, Chenab, Ravi, Beas, Suttly yang kemudian
terkenal dengan sebutan Punjab (Daerah lima Aliran Sungai).
Gambar 1: Harappa dan Mohenjodaro
Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan
bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti
peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk
Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan
amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang,
diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat
dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf
piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Sayangnya, huruf-huruf
ini sampai sekarang belum bisa dibaca, sehingga misteri yang ada di balik itu
semua belum terungkap.[3]
Gambar
2: Peta India
B.
Peradaban Lembah Sungai Indus
Peradaban
lembah sungai Indus:Kebudayaan sungai indus terletak di lembah sungai Indus( sungai Sindhu)di daerah bagian Punjab( barat
laut India). Kebudayaan ini berkembang sejak 3000 Sm. Penelitian kebudayaan dilakukan oleh arkeolog inggris bernama
sir John Marshaal yang
dibantu oleh Benerji ahli purbakala dari indiaBerdasarkan penelitian ini kebudayaan india kuno berpusat di kota Mohenjodaro dan harappa, amri, dan Changko daro.Pendukung kebudayaan lembah sungai Indus adalah bangsa dravidadengan ciri kulit hitam, rambut keriting dan
hidung pesek. Lembu jantan biasadianggap
sebagai binatang yang keramat
demikian pula dengan gajah, badak dan buaya yang banyak di temukan dalam pahatan materai-materai. Mereka juga menyembah pohon-pohon besar. Yang ditemukan dalam lukisan –lukisan ( semacam pohon Bodhi) yang oleh agama
budha dianggap sebagai pohon suci.[4]
Peradaban suku
bangsa Dravida berpusat di tepi sungai Indus (Shindu). Peninggalan tersebut
adalah reruntuhan kota tua Mohenjo Daro-Harrapa. Dari reruntuhan tersebut dapat
ditemukan bukti-bukti keberadaan sebuah tata kota modern peninggalan suku
bangsa Dravida 2000 tahun SM. Ciri-ciri tersebut diantaranya:
a.Bangunan-bangunan dibuat secara teratur
b.Jalan-jalan lurus dan teratur
c.Terdapat saluran pembuangan air
d.Rumah-rumah dilengkapi dengan kamar mandi
e.Terdapat pemandian umum/ kolam renang
Bukti keunggulan budaya suku bangsa Dravida yang lain adalah:
a.Telah mengenal sistim tata kota modern
b.Mengenal meterai dan mata uang
c.System transportasi dengan kereta kuda
d.Mengenal tulisan
e.Pembagian masyarakat dalam 4 golongan
Kebudayaan
Lembah Sungai Gangga merupakan campuran antara kebudayaan bangsa Arya dengan
kebudayaan bangsa Dravida. Kebudayaan ini lebih dikenal dengan kebudayaan
Hindu. Daerah-daerah yang diduduki oleh bangsa Indo-Arya sering disebut dengan
Arya Varta (Negeri Bangsa Arya) atau Hindustan (tanah milik bangsa Hindu).
Bangsa Dravida mengungsi ke daerah selatan, kebudayaannya kemudian dikenal
dengan nama kebudayaan Dravida.[5]
Sosial-Budaya
Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang, diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Sayangnya, huruf-huruf ini sampai sekarang belum bisa dibaca, sehingga misteri yang ada di balik itu semua belum terungkap.[6]
Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang, diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Sayangnya, huruf-huruf ini sampai sekarang belum bisa dibaca, sehingga misteri yang ada di balik itu semua belum terungkap.[6]
Gambar 3: Situs
tempat penemuan peradaban di Harappa
Benda-benda
lain yang ditemukan di kawasan Mohenjodaro-Harappa adalah bermacam-macam periuk
belanga yang sudah dibuat dengan teknik tuang yang tinggi. Selain itu ditemukan
juga benda-benda yang terbuat dari porselin Tiongkok yang diduga digunakan
sebagai gelang, patung-patung kecil, dan lain-lain. Dari hasil penggalian
benda, dapat diasumsikan bahwa teknik menuang logam yang telah mereka lakukan
sudah tinggi. Mereka dapat membuat piala-piala emas. Mereka dapat membuat
piala-piala emas, perak, timah hitam, tembaga, maupun perunggu. Penduduk
Mohenjodaro-Harappa sudah mampu membuat perkakas hidup berupa benda tajam yang
dibuat dengan baik. Namun, senjata seperti tombak, ujung anak panah, ataupun
pedang, sangat rendah mutu buatannya. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk
Mohenjodaro-Harappa merupakan orang-orang yang cinta damai, atau dengan kata
lain tidak suka berperang. Pada masa ini pula, diduga masyarakat
Mohenjodaro-Harappa telah mengenal hiburan berupa tari-tarian yang diiringi
genderang. Di tempat penggalian ini juga ditemukan alat-alat permainan berupa
papan bertanda serta kepingan-kepingan lain. Masyarakat Mohenjodaro-Harappa
telah mempunyai tata kota yang sangat baik. Masyarakat pendukung kebudayaan ini
juga dikenal mempunyai sistem sanitasi yang amat baik. Mereka mempunyai tempat
pemandian umum, yang dilengkapi dengan saluran air dan tangki air di atas
perbentengan jalan-jalan utama.[7]
Kepercayaan
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.
Politik
Kondisi
kehidupan perpolitikan pada masa transisi (pasca Harappa hingga masa Arya),
tampaknya mulai terganggu dengan menyusutnya penduduk yang tinggal di kawasan
Lembah Indus selama paruh kedua millenium II SM. Mungkin saja terjadi karena
pendukung kebudayaan Indus itu musnah atau melarikan diri agar selamat ke
tempat lain, sementara para penyerang tidak bermaksud untuk meneruskan tata
pemerintahan yang lama. Hal ini bisa terjadi karena diasumsikan tingkat
peradaban bangsa Arya yang masih dalam tahap mengembara, belum mampu
melanjutkan kepemimpinan masyarakat Indus yang relatif lebih maju, dilihat dari
dasar kualitas peninggalan kebudayaan yang mereka tinggalkan..[8]
C.
Kedatangan Bangsa Arya dan Pertemuan dengan Bangsa Dravida
Nama
arya berarti bangsawan atau tuan, yang terdapat dalam bahasa persia dan india.
Perpindahan Bangsa Arya di India terjadi bertahap-tahap, dan tidak terjadi
langsung dengan gelombang besar. Waktu yang dibutuhkan juga membutuhkan waktu
yang berabad-abad, itupun sambil membawa keluarga mereka.[9]
Gambar 4: Celah
Khaibar
Pada tahun 1500
SM, bangsa Arya yang berasal dari Asia Tengah masuk ke wilayah India melalui
Celah Khaibar. Kedatangan mereka mendesak bangsa Dravida. Bangsa Arya yang
merupakan bangsa penggembala berkulit putih dan badan tinggi besar berperang
beberapa lamanya dengan bangsa Dravida. Peperangan tersebut mengakibatkan
bangsa Dravida pindah ke selatan, namun ada juga yang tetap bertahan dan
melakukan interaksi dengan bangsa pendatang tersebut. Interaksi yang
terus-menerus itu menimbulkan asimilasi kebudayaan, yaitu lahirnya kebudayaan
Hindu yang merupakan percampuran kebudayaan Dravida dan Arya.[10]
Pada
waktu bangsa Arya menyerbu ke India, di sana telah tinggal penduduk India yang
asli, termasuk bangsa Dravida. Bangsa ini berbadan kecil kulitnya
kehitam-hitaman bahkan ada juga yang hitam, hidungnya pipih dan rambutnya ikal,
mula-mula bangsa asli tersebut tersebar di seluruh India Selatan saja. Bangsa
Dravida itu tinggal di kota-kota, bercocok tanam, dan pandai berlayar menyusuri
pantai.
Sifat
bangsa Arya berlainan dengan bangsa Dravida. Bangsa Arya berkulit putih,
badannya tinggi dan besar, rambutnya kemerah-merahan, hidungnya besar dan
mancung, dan matanya biru. Sifat yang paling istimewa dari bangsa Arya ini
adalah pandai berperang daripada bangsa Dravida. Mereka menggunakan bahasa
Sansekerta. Mereka tidak lagi menjadi bangsa pengembara, melainkan sebaliknya.
Mereka menetap menjadi masyarakat desa, bercocok tanam, dan berdagang. Mereka
mempunyai tiga macam pekerjaan utama yakni menjalankan agama, berperang, dan
berdagang. Ketiga pekerjaan itu menimbulkan tiga golongan dalam pergaulan hidup
mereka, yaitu golongan pendeta, golongan prajurit, dan golongan gpedagang.
Lambat laun ketiga golongan tersebut berubah menjadi kasta Brahmana, kasta
Ksatria, dan kasta Waisya. bangsa asli (Dravida( yang telah
ditaklukkan, oleh bangsa Arya, mereka
dimasukkan ke dalam kasta yang keempat yakni kasta Sudra. Sedang bangsa asli
yang terdesak ke selatan, tidak dimasukkan ke dalam kasta apapun. Mereka oleh
bangsa Arya disebut kasta Pariah, artinya orang yang tidak termasuk ke dalam
lingkungan pergaulan hidup tertentu. Dari asas pergaulan kehidupan social itu
menyebabkan timbulnya konsepsi Hinduisme mengenai struktur dan susunan
masyarakat.[11]
D. Pengaruh Bangsa Arya
Kedatangan
bangsa Arya di India telah memberi pengaruh besar dalam sejarah perkembangan
Bangsa India sendiri. Bangsa Dravida yang sebelumnya telah menempati India
telah memberi tiga reaksi pasca serangan bangsa Arya. Kelompok pertama adalah
mereka yang menolak kedatangan bangsa Arya dengan memberi perlawanan sampai
mati. Kelompok kedua yaitu mereka yang akhirnya menyingkir ke daerah selatan,
Deccan dan Bihar. Kelompok ketiga adalah yang kemudian melakukan asimilasi
dengan bangsa Arya, yang kemudian melahirkan budaya baru.
Fokus
peneitian para ilmuan sejarah masih masih berkisar pada budaya yang telah
dihasilkan oleh percampuran bangsa Arya dan Dravida tersebut, atau yang
kemudian sering dengan kebudyaan Indo-arya. Alasan utamanya adalah bahwa
percampuran tersebut selanjutnya melahirkan sistem budaya dan poitik yang lebih
mudah untuk dirunut pada sejarawan. Pengaruh selanjutnya dari budaya Indo-arya
adalah munculnya perbagai budaya seperti Bahasa Sansekerta, Upacara Keagamaan,
dan hal-hal sacral lainnya. Selain itu adalah kemunculan dan berkembangnya
Agama Hindu yang menjadi agama terbersar di India sampai sekarang.
Pengaruh
yang signifikan dari bangsa Arya yang selama ini banyak dikaji adalah munculnya
banyak kerajaan bercorak Arya. Proses kultural yang berlangsung hingga abad
ke-7 sebelum masehi kemudian melahirkan sejarah politk bangsa India yang sangat
panjang. Pada periode ini suber sejarah India semakin terang dengan perlbagai
iniformasi tertulis dari dalam India maupun dari catatan asing. Beberapa
kerajaan penting pada masa awal perkembagnan Arya adalah Gandhara, Kosala, Kasi
dan Maghada. Tetapi sampai sekarang hanya kerajaan-kerajaan yang mempunyai
pengaruh besar saja yang dapat diakses dan dikaji. Hal karena terbatasnya
sumber sejarah yang menerangkan perihal tersebut. Selain itu kita tahu India
mempunyai wilayah yang cukup luas, dan tidak memungkinkan dikaji
kerajaan-kerajaan yang terseban seantero India. Dari sekian banyak kerajaan,
mungkin yang dapat diakses dan dikaji karena mempunyai peranan penting dalam
perkembangan peradaban di India. Salah satunya adalah Maghada[12].
E.
Munculnya Agama Hindu di India
Perkembangan
agama Hindu-Budha tidak dapat lepas dari peradaban lembah Sungai Indus, di
India. Di Indialah mulai tumbuh dan berkembang agama dan budaya Hindu dan
Budha. Dari tempat tersebut mulai menyebarkan agama Hindu-Budha ke tempat lain
di dunia. Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan bangsa Aria (cirinya
kulit putih, badan tinggi, hidung mancung) ke Mohenjodaro dan Harappa
(Peradaban Lembah Sungai Indus) melalui celah Kaiber (Kaiber Pass) pada
2000-1500 SM dan mendesak bangsa Dravida (berhidung
pesek, kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku bangsa asli
yang telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Dravida disebut juga Anasah yang
berarti berhidung pesek dan Dasa yang berarti raksasa. Bangsa
Aria sendiri termasuk dalam ras Indo Jerman.
Orang
Aria mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan
kepercayaan bangsa Aria tersebut berbaur dengan kepercayaan asli bangsa Dravida
yang masih memuja roh nenek moyang. Berkembanglah Agama Hindu yang
merupakan sinkretisme (percampuran) antara kebudayaan dan
kepercayaan bangsa Aria dan bangsa Dravida. Terjadi perpaduan antara budaya
Arya dan Dravida yang disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme). Istilah Hindu
diperoleh dari nama daerah asal penyebaran agama Hindu yaitu di Lembah
Sungai Indus/ SungaiShindu/ Hindustan sehingga
disebut kebudayaan Hindu yang selanjutnya menjadi agama Hindu. Daerah
perkembangan pertama agama Hindu adalah di lembah Sungai Gangga, yang
disebut Aryavarta (Negeri bangsa Arya) dan Hindustan (tanah
milik bangsa Hindu).
Perkembangan
Agama Hindu di India pada dasarnya terjadi selama empat fase. Jaman Weda, jaman
Bharmana, jaman Upanisad dan jaman Budha. Jaman Weda disinyalir telah
berkembang pada masa perdaban Mohenjodaro dan Harappa. Bukti yang menunjukan
fase ini adalah adanya patung yang menyerupai perwujudan Siwa. Selain itu pada
masa ini masyarakat India kuno juga telah menyembah dewa-dewa. Tetapi kepastian
dimulainya fase Weda adalah pada masa Bangsa Arya berada di Punjab di lembah
sungai Indus. Sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum masehi. Setelah terdesak
bangsa Dravida akhirnya hijrah ke arah Selatan di dataran tinggi Dekkan, dan
sebagian ada yang membaur dan berasimilasi dengan kebudayaan bangsa Arya. Bangsa
Arya sendiri telah menyembah beberapa dewa, diantaranya: Agni, Varuna, Vayu,
Indra, Siwa dan sebagainya. Tetapi tuhan-tuhan tersebut hanyalah manifestasi
dari perwujudan tuhan yang Maha Esa, yang mengatur dan berkuasa atas alam
semesta yang disebut “Rta”.[13]
Daftar
pustaka
Ayu Lestari, Sejarah Perkembangan Bangsa Arya, 2012 melalui:
http://ayumaksu.blogspot.com/2012/04/sejarah-perkembangan-bangsa-arya.html
Budiyanto, Peradaban Lembah Sungai Indus, melaui:
http://budisma.web.id/materi/sma/sejarah-kelas-x/peradaban-lembah-sungai-indus/
Fitriyani, Akulturasi Bangsa Arya dengan Dravida, dikutip
pada 31 Maret 2011 melalui:
http://sejarahfitriyani.blogspot.com/2011/03/akulturasi-bangsa-arya-dengan-dravida.html
R. C. Majumdar dkk. An
Advanced History of India. London:
Macmillan & Co LTD. 1958. Hlm 24.
Rina Adityana, Historia Vitae Magistra, http://www.freewebs.com/rinanditya/hindubudha.htm
T.H. Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama,
Jakarta: Galura Pase. 2006.
Yugo Preo, Peradaban Lembah Sungai Indus, dikutip pada 27
Oktober 2009 melaui: http://www.scribd.com/doc/21688858/Peradaban-Lembah-Sungai-Indus
[2] R. C. Majumdar dkk. An
Advanced History of India. London:
Macmillan & Co LTD. 1958. Hlm 24.
[3] Budiyanto, Peradaban Lembah Sungai Indus, melalui: http://budisma.web.id/materi/sma/sejarah-kelas-x/peradaban-lembah-sungai-indus/
[4] Yugo Preo, Peradaban Lembah Sungai Indus, dikutip pada 27
Oktober 2009 melaui:
http://www.scribd.com/doc/21688858/Peradaban-Lembah-Sungai-Indus
[5] Fitriyani, Akulturasi Bangsa Arya dengan Dravida, dikutip
pada 31 Maret 2011 melalui: http://sejarahfitriyani.blogspot.com/2011/03/akulturasi-bangsa-arya-dengan-dravida.html
[6] Budiyanto, Peradaban Lembah Sungai Indus, melaui: http://budisma.web.id/materi/sma/sejarah-kelas-x/peradaban-lembah-sungai-indus/
[7] Budiyanto, Peradaban Lembah Sungai Indus, melaui: http://budisma.web.id/materi/sma/sejarah-kelas-x/peradaban-lembah-sungai-indus/
[8] Budiyanto, Peradaban Lembah Sungai Indus, melaui: http://budisma.web.id/materi/sma/sejarah-kelas-x/peradaban-lembah-sungai-indus/
[10] Budiyanto, Peradaban Lembah Sungai Indus, melaui: http://budisma.web.id/materi/sma/sejarah-kelas-x/peradaban-lembah-sungai-indus/
[11] T.H. Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama,
Jakarta: Galura Pase. 2006. Hlm 56
[13] Ayu Lestari, Sejarah Perkembangan Bangsa Arya, 2012 melalui:
http://ayumaksu.blogspot.com/2012/04/sejarah-perkembangan-bangsa-arya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar