Dharsana
dalam agama hindu
Dalam
jangkamasa antara 500 tahun sebelum Masehi sampai 500 tahun sesudah Masehi Berlangsung
perkembangan aliran-aliran filsafat di dalam agama Hindu dengan sistem-
sistem tinjauan (dharsanas) tersendiri terhadap permasalahan keagamaan.[1]
Menurut
tradisi India, Realitas Mutlak (Ultimate Reality) itu hanya satu, tetapi
disampingnya terdapat enam interpretasi dasar mengenai Realitas, yang disebut
Sad Darsana / Six Insight/ Enam Wawasan. Kata Sansekerta darsana berasal dari asalkata ‘drs’ berarti melihat,
yakni suatu istilah Sansekerta untuk falsafat/filosofi. Sad Darsana/Keenam
Wawasan tersebut membentuk sistim falsafat klasik India yakni : Nyaya,
vaesesika, samkhya, yoga, Mimasa dan Vedanta. Para pendiri Sad Darsana yang
asli tidak diketahui/dikenal. Keenam wawasan/pengertian itu berangsur-angsur
menjadi interpretasi mengenai Realitas Mutlak, masing-masing saling berjalin
sehingga hipotase dan metode masing-masing saling bergantung satu dengan yang
lain. Semuanya menuju ke pengetahuan mengenai kebenaran Mutlak dan Kebebasan
Roh /sukma /soul.[2]
Aliran
samkhya
Samkhya
itu bermakna : akal (reason). Aliran Samkhya itu dibangun oleh Kapila.
Aliran Samkhya itu membahas tentang Jiwa dan tentang Materi beserta hubungan
antara keduanya yang membangkitkan Tabiat pada segala sesuatunya. Aliran
Samkhya itu menunjukkan 25 buah kesatuan (tattvas) yang amat menentukan di
dalam proses kedirian, bagi pembentukan pribadi.
Dua
kesatuan yang paling azasi dan saling bertentangan ialah purusha (jiwa)
dan prakerti (materi, benda). Jiwa itu tidak terbatas jumlahnya dan
berisikan akal murni. Satu persatunya berdiri sendiri-sendiri, tak terbagi, tak
bersyarat, tak berobah, dan abadi. Jiwa itu berkaitan dengan materi, yakni :
prakriti, pradhana, avyakta.
Pada
mulanya prakeriti itu berada dalam keadaan diam. Thariqat-thariqat dalam
dunia mistik Islam memanggilkan perikeadaan diam itu dengan alam-tsabitah. Prakriti
itu memiliki tiga sipat (gunas), yaitu :
1.
Sattvas, yakni kebijakan.
2.
Rajas, yakni hasrat.
3.
Tamas, yakni kegelapan.
Ketiga-tiga
gunas itu masih berada dalam pertimbangannya. Kemudian purusha (jiwa), sesuai
dengan krama-nya (kewajibannya), lantas menggerakanya. Prakriti bergetar, dan
satu persatu gunas itu lalu kehilangan perimbangannya. Dari pergerakan prakriti
itu lahirlah 23 tattvas (kesatuan) lainnya.
Pertama-tama lahir buddhi
(akal), dan dari buddhi itulah berlangsung proses kepribadian, yakni Ahamkara,
yang bermakna : Aku adalah Pelaku. Ahamkara itu suatu proses gerakan
yang terus menerus, yang secar alamiah (kosmis) dan secara kedirian
(individualis), memperlihatkan ragam-beda (differensisasi).
Secara kommis, Ahamkara itu
melahirkan lima tanmatras (unsur terhalus) yaitu : tanah, air, api,
udara, dan ether. Dari lima unsur terhalus itu lahir lima mahabhuta (unsur
tanggapan yaitu : Keras, basah, hangat, embusan, dan cairan. Dan semuanya itu
sasaran bagi indra.
Secara individualis, Ahamkara
itu melahirkan lima buddhindraya (Indria yang merupakan alat akal) yaitu
: penglihatan, pendengaran, penciuman, rabaan, dan citarasa. Dan dari situ
lahir lima karmendrya (indria untuk bertindak) yaitu : mata, telinga,
hidung, kulit, dan lidah.
Tanmatras dan buddhindrya itu
punya hubungan dengan ingatan (mind) dan hubunga itulah yang menentukan
kepribadian sesuatu diri, yaitu pergumulan Hasrat dengan Akal. Jalan
satu-satunya untuk mencapai keselamatan (moksha) ialah melakukan Yoga, karena,
tubuh jasmani bisa terikat selamnya kepada karma dan samsara sebelum tercapai
moksha.[3]
1. Konsep Purusa dan Prakerti
Hubungan antara prakerti dan purusa diterangkan sebagai
suatu perkawinan. Nisbah antara prakerti dan purusa-asali diumpamakan seperti
nisbah antara isteri dan suami. Cara orang pada zaman kuno di banyak bagian
dunia di Timur dan Barat berpikir terbelenggu oleh pikiran, bahwa rahasia dunia
itu hanya dapat dipahami sebagai suatu hubungan perkawinan. Bandingkanlah
misalnya dengan pendapat orang Tionghoa tentang unsur-unsur asali yang dan yin.
Bila pada sistim Sankhya nisbah antara purusa dan prakerti dilukiskan sebagai
perkawinan maka artinya demikian: Antara purusa dan prakerti terdapat suatu
daya tarik yang mendekatkan keduanya: eros atau cinta. Daya tarik yang
mendekatkan keduanya itu sebenarnya mempunyai maksud membebaskan purusa sama
sekali. Karena segala peristiwa di dunia terjadi dari daya-tarik itu dan karena
senantiasa dengan maksud supaya purusa itu menjadi bebas, maka di sini
diajarkan, bahwa segala di dunia itu bergerak menuju ke suatu tujuan yang telah
ditetapkan (sistim telelogis: telos berarti tujuan). Nisbah yang
tersembunyi antara purusa dan prakerti, yang dapat dibandingkan dengan nisbah
antara baja dan besi berani ditujukan supaya purusa itu mengenal hakekatnya
sendiri dan menolak prakerti sebagai sesuatu yang tidak tergolong dalam
hakekatnya purusa. Dalam hal itu prakerti sendiri ikut membantu, seperti air
susu yang tidak sadar (seperti seluruh alam tidak sadar) dengan begitu saja
keluar guna kepentingan anak lembu.
Hubungan antara prakerti dan
purusa disebut “samyoga”, artinya persenyawaan atau ikatan (sam berarti
bersama dan yoga, bandingkanlah dengan lungo dalam bahasa Latin, berarti
mengikat).
Siapakah purusa itu? Di dalam
sistim-Samkhya purusa itu sesutu yang sangat halus dan tidak dapat diberi
definisinya. Segala gejala psykhis, segala yang ada pada kita termasuk benda pengamatan
ilmu jiwa, oleh Sankhya di pandang sebagai tergolong pada prakerti. Purusa
hanya penonton (sakshin) saja pada peristiwa-peristiwa dalam. Kita dapat
berkata”. Jadi pada kita ada semacam kembaran yang tidak merasakan, tidak berpikir,
berkata dan berbuat. Jadi di dalam manusia purusa itu bukanlah yang berbuat,
tetapi yang menonton. Biasanya prakerti itu disebut materi. Tetapi itu
sebenarnya lain dengan apa yang kita namakan materi. Prakerti adalah subtansi
yang universal, yang tidak diberi bentuk, ialah alam dalam arti kata yang
seluas-luasnya. Prakerti itu tidak mempunyai permulaan dan tidak dapat
dibinasakan dan bersifat satu adanya. Adanya prakerti harus diakui, karena apa
yang kita lihat itu harus bergantung kepada sesuatu yang lebih universal dan
tetap (permanen), dan karena dunia itu menimbulkan pikiran pada kita, bahwa
alam semesta itu suatu kesatuan. Jadi ajaran tentang sebab dan akibat
(kausalitas) di sini dipergunakan untuk membuktikan adanya prakrti. Tiap-tiap
kejadian itu hanya wujud pernyataan sesuatu, yang telah termuat di dalam
sebabnya. Atau dengan perkataan lain: prakrti adalah kemungkinan, di mana
segala sesuatu yang ada belum diberi bentuk. Jika alam (prakrti) itu tidak
mempunyai permulaan dan tidak terbinasanakan, maka tentulah alam itu senantiasa
berubah, senantiasa giat, (aktif). Terhadap kesatuan prakrti yang pokok
terdapatlah sejumlah banyak purusa. Terhadap kegiatan prakrti yang abadi
terdapat ketenangan yang abadi, keadaan purusa yang abadi.
Selanjutnya di dalam prakerti
terdapat ketiga bagian yang membentuk semesta yakni: sattva,
Rayas,
Tamas.
Semua itu disebut: guna.
Sattva
ialah “adanya yang ada”. Sattva adalah unsur asali dari segala yang terang,
yang memberi cahaya dan segala yang mulia. Sattva itu juga sesuatu yang memberi
kepuasan, yang memberi ketentraman, yang menenangkan hati manusia.
Rayas adalah nafsu yang berkobar
dan tidak dapat di kekang, ialah sesuatu yang menimbulkan rasa tidak senang dan
tidak tentram.
Tamas adalah kegelapan, yang
berat, yang tidak bernafsu (yang indolen), yang muram, merasa sedih, merasa
hancur, dukacita. Anasir-anasir atau faktor-faktor pada prakrti itu sendiri
tidak dapat diamati, kita hanya dapat merasainya pada segala yang ada ini.
Seekor burung mempunyai sattva (cahaya) sebagai ciri; tetapi harimau mempunyai
rayas; ulat bercirikan tamas. Pada segala sesuatu terdapat ketiga guna itu. Pada
barang atau makhluk yang satu terdapat lebih banyak guna macam ini, pada barang
atau makhluk yang lain terdapat guna yang lebih banyak pula. Benda atau makhluk
yang dapat kita amati adalah rupa dari guna. Cahaya adalah rupa dari sattva.
Api badai, dan sebagainya adalah rupa dari riyas. Ulat dan kuda air adalah rupa
dari tamas.
Ketiga guna itu menentukan
segala peristiwa di dunia dan di dalam prakrti dalam bentuk terbungkus, prakrti
adalah hal kemungkinan, sama dengan hule di dalam filafat Yunani.
Bagaimanakah kita harus
membayangkan hubungan (samyoga) antara prakrti dan purusa? Apabila purusa dan
prakerti itu saling dekat-mendekati, mulailah prakrti itu mencipta: dari
keadaan yang tidak terbentuk dan dari kemungkinan yang alami beralihlah prakrti
itu menjadi sesuatu yang berbentuk (rupa). Perhatikanlah, bahwa di sini unsur
yang mencipta itu adalah unsur perempuan. Purusa itu pemimpi, yang dipengaruhi
oleh lukisan-lukisan nafsu daripada prakrti. Di dalam keadaan ini purusa itu
megira bertindak sendiri dan belum mengerti, bahwa hanya prakrti yang
bertindak, sedang ia sendiri (purusa) hanya menjadi penonton saja (sakshin).
Dalam saling dekat mendekati dari prakrti dan purusa berkembanglah kabut
menyelimuti purusa, yang makin bertambah tebal.
Jika prakrti dan purusa saling
dekat mendekati, terjadilah proes yang banyak selukbeluknya sebagai berikut:
1.
Mula-mula lahirlah budi, kesadaran.
2.
Unsur yang kedua ialah ahamkara, artinya sang
pembuat aku, kesadaran akan adanya suatu “ aku” (kesadaran –subyek).
3.
Manas: kekuasaan untuk mengmati dan untuk
memberi reaksi terhadap apa yang telah diamati itu.[4]
2. Triguna
Prakrti dibangun oleh triguna
yaitu, rajas, dan tamas. Guna artinya unsur, atau komponen penyusunan. Triguna
itu tidak dapat kita amati dengan indra. Adanya itu disimpulkan atas obyek
dunia ini yang merupakan akibat dari padanya. Karena adanya kesamaan azas
antara akibat dan sebab, maka dapat kita ketahui sifat-sifat guna itu dari alam
yang merupakan wujud hasil dari padanya. Semua obyek dunia ini memiliki tiga
sifat yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa senang. Susah dan netral.
Nyanyian burung yang menyenangkan seorang seniman, menyusahkan orang sakit, tak
berpengaruh apapun untuk orang yang acuh. Sebab semua sifat ini merupakan
akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah terkandung dalam sattva,
rajas dan tamas itu.
Sattwa adalah suatu prakrti yang
merupakan alam kesenangan yang ringan, yang tenang bercahaya. Wujudnya berupa
kesadaran sifat ringan yang menimbulkan gerak keatas, angin dan air di udara
dan semua bentuk kesenangan seperti kepuasan, kegirangan dan sebagainya.
Rajas adalah unsur gerak pada
benda-benda ini. Ia selalu gerak dan menyebabkan benda-benda ini bergerak.
Ialah menyebabkan api berkobar, angin berhembus, pikiran berkeliaran kesaana
kemari. Ialah yang menggerakan sattwa dan tamas untuk melaksanakan tugasnya.
Tamas adalah unsur yang
menyebabkan sesuatu menjadi pasip dan bersifat negatif. Ia bersifat keras,
menentang aktifitas menahan gerak pikiran hingga menimbulkan kegelapan,
kebodohan sehingga mengantar orang pada kebingungan. Karena menentang aktifitas
menyebabkan orang menjadi malas, acuh tak acuh, tidur.[5]
Ketiga guna ini tidak dapat
dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling mengsuport yang lain
sebagai satu kesatuan. Ibaratkan “lampu minyak” yang terdiri dari unsur nyala,
unsur minyak dan unsur lampunya, yang secara sendiri-sendiri tidak akan dapat
berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep penciptaan , pemeliharaan dan peniadaan,
Sattwa adalah penciptaan Rajas adalah pemeliharaan dan Tamas adalah peniadaan.
Prakrti dicirikan oleh adanya tiga guna diatas. Kata guna artinya adalah
kwalitas atau sifat dari Prakrti, tetapi tidak sekedar aspek permukaan dari
alam materiil ini, tapi hakekat intrinsic dari Prakrti. Guna-guna itu selalu
berubah dari dalem dirinya sendiri walaupun dalam keadaan keseimbangan, Cuma
saja ia tidak menghasilkan apapun sepanjang keseimbangan tidak terganggu. Bila
keseimbangan terganggu maka guna-guna dalam situasi gunaksobha, dimana
masing-masing guna beraksi satu sama lainnya yang diebabkan karena salah satu
guna secara dominan tampil walaupun tidak meniadakan guna-guna lainnya, dalam
benda-benda material yang diam atau yang tidak bergerak maka yang dominan
adalah Tamas Guna dibangdingkan dengan
dua Guna lainnya. Dalam sesuatu ang bergerak maka Rajas Guna dominan
dari pada duaguna lainnya. Demikianlah Guna-Guna itu bekerja bersama-sama dalam
membentuk alam semesta ini. Guna-guna itu dapat di mengerti dari fakta berupa
ciri-ciri dari Dunia marteriin ini,baik secara eksternalmaupun secara internal,
baik itu berupa unsur fisik atau pikiran, yang semanya itu memiliki kemampuan
dalam menghasilkan kesenangan, penderitaan atau seimbang tidak keduanya. Suatu
objek yang sama barangkali menyenangkan seseorang tapi menyakiti bagi yang
lainnya atau sama sekali tidak keduanya itu. Seorang wanita yang cantik akan
sangat menarik bagi pacarnya,tapi akan menyakitkan wanita lainnya yang juga
tertarik pada laki-laki pacar wanita cantik itu, dan tidak ada apa-apanya bagi
orang lain yang tidak terlibat”kecantikan dari wanita itu menunjukkan adanya
hubungan dengan orang-orang lainnya disekitarnya, yang muncul dari Guna-guna
yang ada pada dunia ini. Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami
bagaimana asal-usuldari semua fenomena Prakrti ang memiliki ciri-ciri yang
dapatkita temukan. Pada obyek-obyek dunia ini. Prekrti dan produk-produk yang
dihasilkannya membutuhkan guna-guna tersebut karena, prakrti dan produknya
tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Purusa. Mereka adalah
Objek sedangkan Purusa adalah Subyek. Filsafa Samkhya menyatakan bahwa
keseluruhan alam semesta ini berkembang dari guna, dimana dalam keadaan ketiga
guna itu seimbang alami disebut Prakrti dan dalam keadaan tidak seimbang disebut
sebagai Vikrti, yaitu keadaan yang heterogen. Tiga guna inioleh filsuf Samkhya
yang beraliran nonteistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari aktifitas
(calam); dan Tamas adalah berat dan gelap, lesu atau menutupi (guru danavarna).
Guna itu tidak berbentuk dan selalu ada (omnipresent) yang dalam keadaan
seimbang menyerahkan sifat-sifatnya kedalam yang satu dengan yang lainnya.
Dalam keadaan tidak seimbang, rajas dikatakan sebagai pusat dari sattva dan
tamas, yang menghasilkan penciptaan karena memanifestasikan dirinya dengan
demikian rajas menghasilkan pasangan-pasangan yang berlawanan.sebaliknya Raja
juga tergantung dari Sattpa dan Tamas, karena aktifitas tidakakan terjadi tanpa
adanya obyek dan media leat mana ia beraktifitas. Dalam keadaan memanifestasikan
diri, salah satu guna mendominasi duaguna lainnya, tetapi tidak pernah terjadi
secara sepenuhnya terpisah atau absen satu sama lainnya karena secara
keseimbangan mereka bereaksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan pengaruh
rajas maka kekuatan sattvika maka kecepatan yang tinggi dan unit kekuatan itu
terpecah menjadi bagian-bagian. Dalamtahapan tertentu barangkal percepatan
berkurang dan mereka mulai mendekat dan mendekat satusama lainnya.kontraksi
dari kekuatan Sattvika maka akan terbentuk Tamas, dan dalam waktu yang
bersamaan dorongan dari kekuatan aktif (rajas) juga terjadi pada Tamas dan
dalam kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat. Dengan demikian guna itu
secara terus menerus merubah keunggulan mereka mengatasi yang lainnya. Keunggulan
Sattva dari Tamas dan sebaliknya, keunggulan Sattva pada Tamas terjadi secara
bersamaan dalam proses tersebut, dan pergantiian itu terjadi pada setiap saat.
Sattva dan Tamas dan dalam penampakannya merupakan terang dan tidak berbobot
sedang yang lain merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini bekerja secara
bersama-sama dalam penciptaan dan peleburan seperti halnya benda-benda bergerak
dari yang halus. Ekspansi kekuatan energi yang tertimbun dalam bentuk-bentuk
yang halus, darimana ia memafestasikan dari dalam bentuk keseimbangan yang
baru. Keseimbangan yang sifatnya relatif ini merupakan suatu tahapan tertentu
dari proses evolusi itu sendiri. Memang kelihatannya ada suatu konflikyang
berkesinambungan antara guna-guna itu, tapi sesungguhnya ada kerjasama yang
sempurna selama proses penciptaan oleh karena lewat interaksi yang
berkesinambunganitulah aliran kosmis dan kehidupan individual terus
berlangsung. Guna-guna itu memiliki peranan yang sama dalam tubuh dan pikian
manusia sepertihalnya yang terjadi pada alam semesta secara keseluruhan.[6]
3. Evolusi alam semesta.
Prakrti
akan mengembang menjadi alam ini bila berhubungan dengan purusa. Melalui
perhubungan ini prakerti dipengaruhi oleh purusa seperti halnya anggota badan
kita dapat bergerak karena hadirnya pikiran.
Evolusi
alam semesta tidak mungkin terjadi hanya karena purusa, karena ia bersifat
pasif. Tidak juga hal itu dapat terjadi karena ia tanpa kesadaran. Hanya karena
perhubungan purusa prakerti ini adalah seperti kerja sama orang lumpuh dengan
orang buta untuk dapat keluar hutan. Mereka bekarja sama untuk mencapai
tujuannya.
Hubungan
antara purusa dan prakrti menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam triguna.
Yang mula-mula tergantung ialah rajas yang menyebabkan guna yang lain ikut
terguncang pula. Masing-masing guna itu berusaha mengatasi kekuatan guna
lainnya. Maka terjadilah pemisah dan penyatuan triguna itu yang menyebabkan
munculnya obyek yang kedua ini. Yang pertama terjadi dari prakrti ialah Mahat
dan Budhi. Mahat adalah benih besar alam semesta ini sedangkan Budhi adalah
unsur intelek.
Fungsi budhi ialah untuk
memberikan pertimbangan dan memutuskan segala apa yang datang dari alat-alat
yang lebih rendah dari padanya. Dalam keadaannya yang murni ia bersifat dharma,
jnana, vairagya dan aiswarya yaitu kebijakan, pengetahuan, tidak bernafsu dan
ketuhanan. Ia berada amat dekat dengan roh. Ahamkara atau rasa aku adalah hasil
prakrti yang kedua. Ia langsung timbul dari mahat dan merupakan manifestasi
pertama dari mahat. Fungsi Ahamkara ialah merasakan rasa aku. Dengan ahamkara
sang diri merasa dirinya yang bertindak, yang ingin, yang bermilik.
Ada
tiga macam ahamkara seuai dengan guna mana yang lebih unggul dalam keinginan
itu. Ahamkara itu disebut sattwika bila unsur sattwa yang unggul, rajasa bila
rajas yang unggul dan tamasa bila tamas yang unggul.
Dari
sattvika timbullah panca jnanendriya, panca karmendriya dan manas. Dari tamasa
lahirlah panca tanmatra sedangkan rajasa memberikan tenaga baik pada sattwika maupun
tamasa untuk merubah mana berfungsi menuntun alat-alat tubuh untuk mengetahui
dan bertindak.
Panca
tanmatra adalah sari-sari benih suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Semuanya
ini hanya diketahui orang akibat yang ditimbulkannya, sedangkan ia sendiri
tidak dapat dikenal karena amat halusnya.
Dari benih suara terjadilah Akasa.
Dari benih sentuhan dan suara terjadilah udara.
Dari benih warna, suara dan sentuhan terjadi cahaya atau
api.
Dari benih suara, sentuhan dan warna terjadi air.
Dan dari benih baru dan empat tanmatra yang lain terjadi
bumi.
Dari
semua anasir kasar itu berkembanglah alam semesta ini dengan segala isinya,
namun perkembangan ini tidak menimbulkan azas-azas baru lagi seperti
perkembangan mahat. Alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan
mahat. Alam semesta adalah benda-benda yang dijadikan bukan benda-benda yang
menjadikan.
Suatu azaz lagi setelah
terbentuknya alam semesta ini, belumlah sempurna sampai disitu, sebab ia
memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang menikmati isi alam ini.
Bila roh nyata ada, maka perlulah adanya penyesuaian moral, kenikmatan dan
kesusahan hidup ini. Evolusi prkrti menjadi dunia obyek memungkinkan roh nikmat
atau menderita sesuai dengan baik buruk perbuatanya. Namun tujuan akhir evolusi
prakrti ialah kelepasan.[7]
4. Ajaran tentang kelepasan.
Hidup didunia ini adalah
campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat dinikmati, banyak
pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang dapat menghindari diri
dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindari diri dari ketuaan dan
kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu adhyatmika, adhibautika,
dan adhidaiwika.
Adhyatmika
adalah sakit karena sebab-sebab dari dalam badan sendiri seperti kerja
alat-alat tubuh yang tidak normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia
merupakan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan jasmani dan
rokhani seperti sakitkepala, takut, marah, dan sebgainya.
Adhibautika
adalah sakit yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena
gigitan nyamuk dan sebagainya.
Dan
adidaiwika adalah sakit karena tenaga gaib seperti setan, hantu dan
lain-lainnya.
Tidak ada seorangpun yang ingin
menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas dari susah dan sakit.
Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Selama orang masih berbadan lemah,
selama itu suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian
kita perlu bercita-cita hidup bersenang-senang selalu, cukup hidup biasa-biasa
saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran sehat.
Dalam ajaran samkya kelepasan
itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. Inilah tujuan
terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan
hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan
sepenuh-penuhnya. Samkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu ialah
melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini.
Tiadanya
pengetahuan itulah yang menyebabkan orang menderita. Dalam banyak hal
orang-orang yang tidak punya pengetahuan tentang hukum alam dan hukum kehidupan
terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda halnya
orang-orang yang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan itu tidak
sempurna, maka ia tidak lepas dari penderitaan sepenuhnya. Kelepasan itu hanya
akan dicapai bila pengetahuan orang akan kenyataan itu sudah sempurna.[8]
Daftar Pustaka
[1]
Joesoef Sou’yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta : Al Husna Zikra, 1996)
cet 3
2 Harsa
Swabodhi, BUDDHA DHARMA&HINDU DHARMA, (Sumatra Utara :Yayasan Perguruan
“BUDAYA”)
3.
Dr.A.G.HONIG Jr. ILMU AGAMA,( Jakarta, Gunung mulia, 1997)
.4 I GEDE
RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma sarath, 1990)
[1] Joesoef
Sou’yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta : Al Husna Zikra, 1996) cet 3, h-59
[2] Harsa
Swabodhi, BUDDHA DHARMA&HINDU DHARMA, (Sumatra Utara :Yayasan Perguruan
“BUDAYA”),h-11
[3] Joesoef
Sou’yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta : Al Husna Zikra, 1996) cet 3,
h-60-61.
[4]
Dr.A.G.HONIG Jr. ILMU AGAMA,( Jakarta, Gunung mulia, 1997)h-128-131.
[5] I GEDE
RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma sarath, 1990),h-47.
[7] I GEDE
RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma sarath, 1990),h-50-51.
[8] I GEDE
RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma sarath, 1990),h-53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar