Sekte-Sekte
Dalam Agama Hindu
Makalah
ini dipresentasikan untuk memenuhi tugas kelompok pada
Mata
kuliah Agama Hindu
Disusun
oleh:
Aldi
Suhendar
1111032100006
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
Sekte-sekte dalam Agama Hindu
Sebagai
yang terdapat dalam agama-agama besar lainnya, maka dalam agama-agama hindu
juga terdapat aliran-aliran atau sekte-sekte yang masing-masing mempunyai
konsepsi tersendiri dalam menanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang
lebih penting dari pada ajaran pokoknya. Pada umumnya sekte-sekte dalam
hinduisme ini meletakkan dasarnya dalam masalah metode mencapai kelepasan dari
samsara serta masalah filsafat atau teologinya. Kita menyadari bahwa semua
orang ingin mendapatkan jalan yang semudah-mudahnya untuk mencapai tujuan
(cita-cita) dengan hasil semaksimal mungkin. Demikian juga halnya dengan usaha
sekte-sekte ini dalam mencapai tujuan hidupnya.
Agam
hindu setelah mengalami perkembangannya lebih lanjut sejak 50 SM, timbullah
pelbagai macam penafsiran atas kitab wedha dalam bentuk pemikiran-pemikiran
filsafat sebagaimana kitab-kitab Brahman, Upanishad, Puarana (suatu kitab yang
menerangkan pelbagai sekte dalam hinduisme terdiri dari 18 buah kitab), kitab
Sutra dan Sastra dan Araniyaka, Baghavat gita (nyanyian dewa) dan lain
sebagainya.
Pada
garis besarnya kitab-kitab hindu tersebut berisi tentang masalah-masalah
sebagai berikut :
- Cerita tentang penciptaan dunia
- Cerita tentang pembagian periode-periode zaman (Manvantarani)
- Genealogi yaitu silsilah raja-raja dan riwayatnya
- Cerita yang mengandung masalah eskatologi (hal-hal yang berhubungan dengan hidup dalam alam akhirat)
- Cerita tentanng kekuasaan dewa-dewa dan perbuatan-perbuatannya terhadap manusia yang menggambarkan bagaimana hubungan timbal- balik antara manusia dengan dewa.
Dengan
timbulnya kesusastraan kitab-kitab suci yang kesemuaannya mengambil sumber dari
cerita-cerita kitab wedha yang kemudian diolah dan ditafsirkan oleh para
pendeta denga latar belakang fikiran atau perasaanya, maka akhirnya timbullah
pelbagai corak tarikah untuk mencapai cita-cita hidup mereka dalam usaha
melepaskan diri dari samsara.
Latar
belakang kepercayaan hinduistis yang masing-masing mereka tonjolkan dalam tarikah-tarikah
tersebut membawa akibat kepada mereka untuk mengadakan pemilihan terhadap objek
kedewataan yang menjadi titik akhir tujuan pemujaannya.
Sekte
Bhakti
Sekitar
tahun 500 SM muncul beberapa kecenderungan yang kemudian dikenal sebagai sekte
Bhakti, yang menekankan pengertian “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang
mencakup pengertian kepercayaan, taat dan berserah diri kepada dewa. Pemujaan
dan kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya
terkadang dinyatakan dengan persembahan berbagai macam buah-buahan dan
bunga-bungaan kepada para dewa disertai dengan penyelenggaraan upacara
mengitari kuil-kuil tertentu. Puja dan Bhakti tersebut dilakukan dengan khidmat
dan sikap badan tertentu, seperti sikap merebahkan dan meniarapkan diri didekat
patung yang terdapat dalam kuil atau tempat-tempat yang suci lainnya sambil
mengucapkan beberapa doa.
Uraian
tentang Bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti Sutra dan Shandilya Sutra.
Kitab ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte Bhakti yang terdapat
di India. Menurut sutra-sutra tadi, Bhakti bukan merupakan suatu pengetahuan
dan juga bukan merupakan perbuatan ritus, juga bukannya system keagamaan,
tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri. Bhakti
adalah pasrah setulus-tulusnya (prapatti) bukan kepada suatu objek yang
bersifat duniawi tetapi hanya pada dewa dengan segenap avatara atau
inkarnasinya.
Bhakti
ada dua macam, yaitu ;
-
Bhakti yang digolongkan sebagai kurang sempurna atau lebih bersifat rendah
saja, yaitu kalau motivasinya menyangkut masalah duniawi. Misalnya, motivasi
yang berhubungan dengan persoalan sakit, bahaya, atau keinginan-keinginanyang
sifatnya pribadi seperti keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki, ingin
sukses dan sebagainya.
-
Bhakti yang sempurna, yaitu bila puja dan Bhakti tersebut dilakukan melulu
karena tujuan mencapai dewa dan dengan hati yang tulus dan mengesampingkan
segala bentuk kepentingan. Bhakti yang lebih itnggi dan sempurna ini bukan
merupakan usaha yang bersifat manusiawi semata, tetapi merupakan anugerah dan
rahmat yang benar-benar murni.
Krishna
Bhakti
Krishna
sering disebut dalam kitab Mahabharata (suatu epik yang disusun sekitar
400 SM-400 M). Dalam kitab ini Krishna muncul sebagai pahlawan yang kemudian
terangkat dalam pemujaan sebagai dewa yang maha tinggi dan menjadi “Tuhan” yang
menyelamatkan manusia. Dalam hal ini Krishna sering dianggap sama denga Brahma
dalam kitab Upanishad. Tetapi arti ketuhanan Krishna lebih meresap dalam
Bhagavadgita.
Kitab
Bhagavadgita memuat uraian tentang suatu peperangan yang tekanannya adalah pada
ajaran tentang amal perbuatan atau “karmayoga”. Puncaknya terdapat pada
ketaatan Arjuna yang menerima ajaran Krishna berupa pandangan wejangan-wejangan
yang mistis. Semua hal yang berhubungan dengan Bhakti sangat diutamakan. Kunci
kepercayaan mengenai Bhakti adalah kepada “Tuhan” semata. Pandangan demikian
ditujukan pada orang yang memuja dan melakukan Bhakti, mengabdi dan pasrah
hanya kepada dewa, dan mereka inilah orang-orang yang mendapatkan anugerah
serta rahmat dari Krishna. Intrepetasi karma yang sangat menekankan pada usaha
sendiri sangat erat dengan ajaran diatas. Sekalipun Bhagavadgita mengajarkan
bahwa perbuatan pasti terjadi dan bahwa karma adalah hasil atau akibat dari
perbuatan, namun disini tampak bahwa dalam ajaran Bhakti orang yang memuja dan
melakukan Bhakti pada Krishna tidak akan mengalami kelahiran kembali.
Cerita-cerita
mengenai Krishna banyak berkembang sekitar abad ke-4 M yaitu ketika tersusunnya
Mahabharata, Harivangsa, dan Bhagavad Puruna. Konon Krishna dilahirkan
dalam suatu keluarga bangsawan, dan sejak kecil sudah memperlihatkan hal-hal
yang luar biasa. Ia menjalin kisah asmara dengan seorang gadis gembala bernama
Radha. Keduanya sering dilukiskan bersama-sama dan seringkali digunakan sebagai
suatu kiasan hubungan antara jiwa dan Tuhan.
Di
daerah Tamil di India selatan kebaktian Krishna untuk pertama kalinya menjadi
terkenal tepatnya pada awal abad ke- 8 M atau mungkin lebih awal lagi,
pembaharuan rohani yang besar sudah dimulai oleh orang-orang yang menamakan
diri sebagai Alvar “ orang yang mempunyai pengetahuan intuitif
tentang Tuhan”. Orang-orang ini rupanya muncul dari suatu bagian penduduk
Dravida yang tetap tak terjamah oleh panteisme Upanishad. Pendekatan mereka
terhadap Tuhan begitu personal dan kebhaktian mereka kepadanya begitu
emosional. Bagi mereka pembagian kasta tidak masuk hitungan, karena kesepuluh
orang yang dianggap suci sebagian adalah kaum sudra, sebagian lagi orang luar
kasta dan satu orang wanita. Bahasa yang digunakannya pun bukanlah sansekerta
melainkan Tamil. Hal ini membedakan mereka dengan dari sekte-sekte non vedis
lainnya seperti misalnya kaum smarta yang menitik beratkan pada kitab-kitab
smriti dalam bahasa sansekerta. Gerakan kaum alvar ini barangkali dimulai
diluar lingkup Brahmana, tetapi seperti halnya semua gerakan dikemudian hari
yang mencoba menghapuskan kasta, pada akhirnya menyerap system kasta kedalam
dirinya.
Diantara
para alvar hanya Namm’alvar yang meninggalkan sesuatu seperti tulisan-tulisan
sistematis mengenai apa-apa yang mereka percayai, ia juga menyangkal bahwa
tujuan tertinggi manusia adalah pembebasan, karena baginya yoga tanpa cinta
tidaklah mempunyai arti, jikapun ada tak lebih dari sekedar pengalaman akan
keberadaan dalam hakikatnya sendiri, yakni dalam kesendiriannya sebagai satu
diantara banyak makhluk Tuhan.
Puisi-puisi
alvar yang konon katanya diperuntukan dalam pengantarn kepergian orang-orang
Budha dan Jaina yang ateis dari India Selatan.
Kisah
Krishna banyak disyairkan oleh para alvar (para penyair yang biasanya
mengungkapkan kehidupan keagamaan atau rasa ketuhanan). Sedemikian mendalamnya
mereka tenggelam dalam perasaan ketuhanan dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapan
mereka tentang kehidupan Krishna dan Radha. Bhakti banyak dilukiskan sebagai
tipe orang yang cinta terhadap Tuhan, sebagai cinta kasih orang tua terhadap
anaknya. Para alvar tersebut sering mengungkapkan ketaatan dan kepatuhan
terhadap Tuhan dalam istilh sakhnya (cinta kasih sayang), dasya
(pemujaan dan pengabdian seorang hamba terhadap Tuhannya), vatsalya
(kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya), juga madhurya (cinta kasih
seorang wanita terhadap pria pujaannya). Para alvar itu banyak yang menempati
hati pada acarya yang tampak jelas pengaruhnya dalam pemikiran daar
filosofis tentang Bhakti dan ketuhanan. Diantaranya adalah Acarya Ramanuja.
Rama
Bhakti
Di
Indonesia dikenal adanya dua epik yang sangat termasyhur, yaitu Mahabarata
dan Ramayana. Epik Ramayana tersusun sempurna kira-kira abad ke-4 SM,
dan berisi tujuh bab sekalipun bab pertama dan bab terakhir merupakan tambahan
saja. Rama dikemukakan sebagai pahlawan agung dan masih tetap manusia. Banyak
dewa agama weda disebut dalam epik tersebut. Wisnu, juga Siwa menempati
kedudukan yang penting, seperti halnya Krishna, rama adalah inkarnasi wisnu
Tokoh sekte ini adalah Ramananda yang hidup disekitar abad 15 M, ia memuja Rama
dan Sita, ia tidak menganggap penting persoalan kasta dalam kaitannya
dengan ajaran agama Bhakti. Para penganut ini umumnya berpendapat bahwa
seseorang dapat mencapai kelepasan melalui pemujaan terhadap dewa atau Tuhan
tanpa memperdulikan masalah kasta. Paham ini disebut Ramanandi, dan sering juga
disebut Ramawat. Sekte ini percaya kepada tuhan yang disebut Rama, dan menurut
mereka Bhakti adalah cinta kasih terhadap tuhan secara sempurna dan bahwa semua
manusia adalah bersaudara. Ramananda tidak sepakat dengan gurunya dalam hal
peraturan-peraturan yang ketat mengenai pertarakan dan juga dalam hal larangan
makan bersama-sama dengan orang-orang dari kasta yang berbeda. Pemujaan
terhadap Rama dilepaskan dari hal yang bersifat esoteris yang diperoleh dari
pemujaan terhadap Krishna. Pengikutnya tersebar luas kesegenap penjuru India.
Salah seorang tokoh dalam aliran Ramananda ialah Kabir yang juga menolak kasta
dan praktek upacara-upacara dan perayaan-perayaan lain dengan berpendapat bahwa
Rama adalah spirit dan jiwa, ia berkesimpulan bahwa Rama tidak dapat dipuja
dalam bentuk-bentuk patung tetapi cukup hanya melalui doa-doa saja. Lebih jauh
lagi ia berpendapat bahwa Tuhan bukan hanya milik orang hindu atau islam saja.
Kabir tekenal dalam sikapnya yang mementingkan masyarakat sikh yang berusaha
untuk menerapkan ajaran pokok agama hindu dan akidah islam, serta sangat gigih
berusaha menghilangkan perbedaan-perbedaan dan ketegangan-ketegangan antar
keduanya. Ia dilahirkan sebagai seorang muslim dan kendati pada awal hidupnya
dia meninggalkan kepercayaan muslimnya, ia tetap memegang teguh monoteisme
muslim yang keras dan sangat membenci system kasta. Oleh karena itu agak aneh
bahwa ia terbiasa menggunakan “Ram” (Rama) untuk menyebut Tuhan meskipun dalam
kenyataannya ia juga sanagt membenci politeisme hindu. Hal ini kiranya
menunjukan bahwa pendewaan Rama sudah begitu jauh berlaku, sehingga namanya
telah menjadi suatu sinonim untuk “Tuhan”. Bagi Kabir, Rama bukan lagi pahlawan
mitologis dalam Ramayana. Rupanya merupakan perhatian Kabir untuk membangun
suatu agama yang tidak dikekang baik oleh dogma, kitab suci, ataupun system
social. Agamanya baginya sebagai urusan pribadi , sesuatu hubungan antara
seorang manusia, Tuhan juga gurunya. “ Hendaklah engkau mengendarai refleksikmu
sendiri ; taruhlah kakimu pada sanggurdi pikiranmu yang tenang”. Kata Kabir,
merekalah pengendara-pengendara yang baik yakni yang bias menjauhkan diri dari
Veda dan Qur’an”. Kendati demikian usaha-usaha Kabir untuk mencipta suatu
jembatan antara kedua agama itu gagal dan para pengikutnya kini terpecah belah
antara mereka yang menamakan diri sebagai muslim dan mereka yang menamakan diri
Hindu.
“Aku
telah berpisah dari hindu dan muslim, tulisnya. Tak akan ku memuja dengan orang
hindu tidak juga sebagaimana orang muslim pergi ke Mekah. Aku hanya akan mengabdi
kepadaNya, lain tidak tak akan ku berdoa kepada berhala ataupun mengucapka doa
muslim. Akan ku taruh hatiku pada kaki Sang Mahatinggi, sebab kita bukan lagi
hindu ataupun muslim”.
Seorang
penyair yang juga terpengaruh oleh pemujaan terhadap Rama adalah Tulsi Das
(1532-1923). Berbeda dari sebagian pembaharu bhkti lainnya, ia seorang
konservatif dan kadang malahan reaksioner terutama sikapnya terhadap wanita.
Sekalipun ia menulis lebih dari 20 karya resmi, namun yang sangat terkenal dan
besar pengaruhnya ialah Ramacharitmanas yang disusun dalam bahasa hindu. Isinya
menekankan pada pemujaan terhadap Rama. Ajaran Bhakti Tulsi Das sangat
berpengaruh dalam pengembangan pemikiran tentang ketuhanan di India.
Sekte
wisnu (vaisnava)
Sekte wisnu merupakan suatu aliran yang menekankan peemujaan terhadap Wisnu,
istrinya dan avataranya. Pemujaan ini biasanya mengutamakan tafsiran teistik
pada Wedanta, diantaranya oleh Visnusvamin (abad ke-13),
Sekte wisnu atau vaicnava mementingkan ekstase kasih sayang terhadap
Krishna dan radha. Para pengikutnya sering digolongkan pada vainawa yang
kemudian masih terbagi lagi menjadi dua aliran, yaiu tenkalai dan vadakalai
yang perbedaannya terletak pada persoalan anugerah dan rahmat tuhan. Kitab yang
sangat terkenal pada sekte ini adalah Bhagavadgita Purana dan Gitagovinda.
Tokohnya yang terkenal adalah ramanuja seorang brahmana asal India selatan. Ia
beruasha untuk mempersatukana agama Wisnu. Ia menuliskan tafsir wedanta-sutra,
yang disebutnya dengan sri bhasya. Ramanuja menyusun marga-marga menjadi Karma
marga(jalan pekerjaan), Jnana marga(jalan budi yang lurus), dan Bhakti
marga(jalan penyerahan diri kepada tuhan). Sumber lain menambahkan yoga
marga(jalan pengheningan cipta dan bertapa).
Dalam selanjutnya aliran ini berkembang menjadi beberapa sekte dan yang
penting diantaranya Pancharatra, Waikhanas dan Karmahina. Sampai sekarang
aliran yang mempunyai banyak penganut di India adalah aliran sri dengan
tokohnya ramanuja, aliran brahma dengan tokohny Madvacarya, aliran Rudra
dengan tokohnya Visnuvamy, dan sanak dengan tokohnya Nimbaska.
Seperti
dikemukakan dalam literatur, sekitar abad ke-4 ada dua dewa yang sangat
terkenal yaitu wisnu dan Siwa pada masa purana sekitar 300-1200, wisnu sangat
tinggi kedudukannya dan sangat luas pengaruhnya karena ajaran avataranya yang
dikembangkan saat itu. Dalam purana, wisnu dinyatakan mempunyai beberapa
avatara secara tradisional), akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar
barangkali saja ada lebih dari duapuluh avatara. Kesepuluh avatara tersebut
ialah :
- Matsyavatara
“Berupa
ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda dunia yang
akan menenggelamkannya”.
- Kumavatara
“sebagai
kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk samudra guna mendapatkan
air amerta (air hidup) yakni yang bilamana diminum, orang akan mengalami
hidup kekal abadi”.
- Varahavatara
Sebagai
babi rusa yang menolong manusia dari raksasa jahat Hiranyaka yang
menyeret manusia dengan menggit bumi yang pada saat itu akan dibawa ke patala
(neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh manusia.
- Narasimhavatara
Sebagai
singa yang berbadan manusia, yang membunuh Hiranyakasipu seorang Daitya
yang tidak bisa dibunuh oleh siapapun dan yang melarang orang menyembah Wisnu
serta menyiksa para pemuja.
- Vamanavatara
Sebagai
orang cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka, cucu
raksasa tersebut bernama Bali (Daitya Bali), dan merebut kembali kahyangan yang
dikuasainya sehingga para dewa dapat menempatinya sebagai semula.
- Parasuramavatara
Sebagai
kesatria yang bersenjatakan parasu (kampak) membunuh beberapa kesatria yang
menghina ayahnya, sebagai atas balasan penghinaan tersebut.
- Ramavatara
Sebagai
kesatria anak Dasarata yang dibuang ke hutan belantara dimana ia kehilangan
istrinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahwana) yang berwatak rakus
dan yang menganiaya umat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana serta
dapat merebut kembali istrinya (cerita tentang Ramatersebut terdapat dalamkitab
Ramayana).
- Krishnavatara
Sebagai
Krishna yang kemudian membunuh Kamsha, raja Mathura kemenakan Krishna dan
melepaskan umat manusia dari kejahatan-kejahatannya.
- Buddhavatara
Sebagai
Budha Gautama yang yang bertuga melemahkan musuh-musuh para dewa yang
menyebarkan ilmu palsu
10.
Kalkinavatara
Sebagai
penjelmaan Wishnu yang akan dating ketika kejahatan sudah sangat memuncak pada
akhir jaman Kaliyuga dan umat manusia sudah tak mau lagi kembali kepada jaman
kebaikan. Setelah itu dunia akan mulai dengan jaman Kertayuga dengan
manusia-manusia yang baru.
Oleh
para ahli pikir India, aliran wisnu diberi dasar kefilsafatan sehingga mendapat
tempat dikalangan para cendekiawan India.
Wisnu
banyak disebut dalam rigweda. Legendanya terdapat dalam Shataphata brahmana[5].
Dalam cerita-cerita klasik dan ikonografi purana, wisnu dilukiskan berbaring
diatas air pada lingkaran gulungan ular kobra yang berkepala seribu yang
melindunginya sebagai tudung diatas kepala dan dari pusarnya tumbuh setangkai
bunga teratai yang diatasnya ada brahma sang pencipta dunia. Wisnu disini
adalah sebagai sang pencipta narayana dalam tubuhnya dan dewa-dewa lainnya
terserap kedalam dirinya sebagai avatara-avatara semata.
Seorang tokoh yang terkanal adalah Mahdva yang pada sekitar abad ke-13 membawa
teologi aliran wisnu kedalam dualisme bebas. Wisnu sebagai jiwa dan sangat
berbeda dengan alam. Jiwa ini punya sebutan sebagai cit (sadar) dan materi atau
alam dinamakan sebagai acit (tidak sadar). Alam materi sangat bergantung
dan tunduk kepada tuhan dan tuhan akan menyelamatkan orang-orang yang
disenanginya yang hanya merekalah yang tulus dan suci saja. Dan jiwa takkan
binasa melainkan dapat berpindah-pindah dari jasad tanpa akhir.
Tuhan dan jiwa bagi Madhva sangatlah jelas berbeda. Ia sangat mempertahankan
keabsolutan Upanishad. Setiap jiwa pada dasarnya sangatlah berbeda dari
jiwa-jiwa yang lainnya, berbeda dari Tuhan yang berfiat abadi yang berbeda pula
dari dunia yang selalu diciptakan pada awal setiap siklus waktu. Madhva
menekankan pada keunikan setiap jiwa masing-masing orang. Ia berpendapat bahwa
ada beberapa kelompok keselamatan maupun kecelakaan yang merupakan rangkaian
keistimewaan jiwa. Ajaran karma memberi kesempatan kepada jiwa yang buruk
dengan melalui hukuman dalam waktu yang relative lama agar dapat meningkatkan
kehidupan yan lebih baik.
Dalam aliran wisnu masih terdapat dewa lain yang juga dipuja, seperti brahma
sang pencipta dan istrinya saraswati yang banyak dipuja oleh para seniman musik
dan sastrawan serta para siswa yang mengharapkan kelulusan. Dewa surya (dewa
matahari) juga banyak dipuja dikalangan maga Brahman. Anak Siwa yag berkepala
gajah yaitu Ganesha juga anak yang lain yaitu Skandha (Kartikeya, Subrhamanya)
banyak dipuja di Tamilnad. Istri wisnu sendiri Lakshmi juga dipuja dan disembah
sebagai dewi keberuntungan.
Sekte Siwa (saiva)
Sekte ini lebih tua dari sekte wisnu. Disini Siwa dianggap sebagai dewa
tertinggi, sementara brahma dan wisnu dianggap sebagai penjelamaan dari Siwa.
Istri Siwa atau saktinya Uma dan parvati. Siwa dipuja sebagai dewa tertinggi
dengan nama mahadeva atau mahesvara, dengan saktinya mahadevi dan mahesvari.
Siwa juga disembah sebagai guru oleh para resi dan para yogin (pertapa). Karena
itu ia disebut sebagai Maha guru atau mahayogi, sebagai penghancur atau
pengrusak ia mendapat sebutan Mahakala dan saktinya Kali atau Durga. Dan bentuk
yang sangat menakutkan Bhairava dengan saktinya Candika (yang maha bengis,
ganas).
Dewi Ibu yang dipanggil sebagai Uma dan Kali atau menurut aspeknya yang
medatangkan keuntungan sudah lama terkenal dengan keburukannya karena dikuilnya
di Calcutta berlawanan dengan hokum ahimsa , binatang-binatang terus
saja disembelih dalam jumlah yang sangat besar sebagai korban, juga
hingga saat ini. Secara ikonografis ia dilukiskan menari diatas tubuh Tuhannya
yang meniarap berhiaskan tengkorak dia menari dengan lidah menjulur keluar,
baah dengan darah. Orang akan berpikir bahwa figur seperti ini tentu saja lebih
mengantar pada gambaran tentang kengerian daripada pemujaan yang penuh cinta,
tetapi kenyataannya yidak saja Ramprasad melainkan Rama Krishna Paramahamsa.
Eksakte yang berlaku dalam pemujaan Krishna hamper-hampir tak sebanding dengan
yang berlaku untuk istri Siwa yang mengerikan ini, karena dalam kecantikannya
ia sangat menakutkan tetapi kemanisannya justru terletak pada kengeriannya itu.
Satu kutipan kiranya cukup untuk memperlihatkan bagaimana kali si pembunuh
universal dari semua makhluk yang pernah lahir, toh dapat memberikan inspirasi
untuk devosi membara dalam semangat India.
Senantiasa
engkau menari dalam peperangan, oh Ibu. Tiada kecantikan sebagaimana
kecantikanmu, seperti ketika dengan rambutmu tergerai disekitarmu, menari
senantiasa, seorang prajurit telanjang di dada Siva.
Kepala
anak-anak mu yang masih segar terbunuh setiap harinya, tergantung sebagai
karangan keliling lehermu. Betapa pinggangmu terhias dengan tangan-tangan manusia
! anak-anak kecil menjadi anting-antingmu. Sempurnalah bibirmu indah, gigimu
mungil seperti melati yang berkembang penuh. Wajahmu bercahaya seperti bunga
teratai dan hebatlah senyuman lestarinya. Bentukmu indah seperti mendung;
bernoda darah kaki-kakimu. Kata Prasad: Pikiranku seperti dia yang menari,
mataku tak lagi mampu menyaksikan keindahan sedemikian.
Para penganut Siwa juga mengakui Bhakti sebagai cara memuja dan menyembah Siwa.
Keberhasilan ini adalah berkat penyebaran ajaran sejumlah orang suci yang
menyatakan yang menyatakan bahwa keselamatan hanya diperolah lewat penyerahan
diri yang total kepada Siwa. Pada akhir abad ke-11 M lagu-lagu pujian dari para
suci ini telah dikumpulkan bersama dan diberi judul Devaram. Kumpulan
ini bersama denagn Tiruvacakam atau “ucapan suci” dari Manikka Vasagar
dan tulisan-tulisan tambahan lainnya dikenal sebagai Veda dari Tamil.lagu-lagu
Saivite berbeda dari saingan mereka Vaishnavite karena adanya perasaan yang
yang tak pantas yang luar biasa yang dirasakan oleh si pemuja dihadapan sang
Maha Suci. Kendati demikian, yang membedakan para suci kaum Saivite dari Tamil
dengan hamper semua peribadatan bhakti lainnya adalah perasaan mereka yang
begitu peka terhadap kesalahan pribadi, manusia sebagaimana adanya dari Tuhan,
jahat dan rusak secara mengerikan. Dia hamba dari anava-nya dan
egoismenya
Jahat,
jahat semata bangsaku, sifat-sifatku semata jahat
Kebesaranku
hanya dalam dosa, jahatlah bahkan kebaikanku.
Jahat
kedirianku yang terdalam, tolol karena menolak kemurnian,
Bukanlah
binatang aku ini, namun cara-cara kebinatangan tak dapat ku ingkari.
Dengan
kata-kata keras, dapatlah aku menyatakan kepada orang-orang apa yang harus
mereka benci.
Namun
tak pernah aku mampu memberikan hadia-hadiah hanya meminta untuk itu saya tahu.
Ah,
betapa bobrok saya ini, kemana aku bakal dilahirkan?
Sekte ini juga terpecah menjadi beberapa aliran yang mendasarkan pandangannya
pada kefilsafatan, seperti Pasupata (memuja Siwa pasupati, sebagai Pati dari
kawanan makhluk Pasu yaitu umat manusia), Kalamuka (berusaha melepaskan diri
dari ikatan keduniawian dengan mandi abu dan makan minim dengan tengkorak
manusia), Lingayat (mempunyai cirri menggunakan kalung dalam bentuk telingan),
dan Kalapika (minum anggur dan makan daging serta melakukan perbuatan seksual
untuk melukiskan persekutuan kekal antara Siva dengan saktinya atau daya
penciptaanya).
Filsafat
Saiva siddantha mendasarkan diri pada Svetasvara Upanishad maupun
pada tulisan-tulisan para suci dari Tamil. Kendati demikian, para penulis Saiva
Siddantha menaruh kepentingan yang sangat besar pada ajaran rahmat yang dengan
bebas diberikan dan ketidakmungkinannya kemajuan rohani tanpa cinta.[6]
Tokoh
aliran Siwa yang terkenal ialah Meykanda yang mengajarkan konsep Pati (Tuhan )
sebagai yang maha kekal berada tanpa sebab dan mahakuasa, Pasu (jiwa) juga
bersifat kekal yang terkukngkung dala mala (semacam karat) yan terdiri dari
tiga Pasa yaitu Anava, Karma dan Maya sehingga jiwa selalu berada dalam
samsara, dan Pasa (ikatan, persatuan).
Lebih lanjut ia berpendapat bahwa Siwa mempunyai kesadaran dan berwatak
laki-laki dan istrinya atau saktinya juga berkesadaran dan berwatak wanita yang
dikenal dengan nama durga. Sakti adalah sisi Siwa yang aktif dan merangsang
untuk aktif, oleh adanya sakti ini maka Siwa memerintah dunia materi yang
sebenarnya adalah maya yang didalamnya tinggal para Pasu yang nasibnya dikuasai
oleh karman. Melalui sakti Siwa yang mendorong untuk aktif, sehingga berlakulah
apa yang ada didunia ini. Demikianlah jiwa ada dalam samsara karena karman,
mala, maya dan dunia materi yang semuanya berasal dari roda sakti, oleh karena
itu hanya Siwa saja yang memungkinkan jiwa individu dapat melepaskan diri dari
karma dan mala sehingga dapat mencapai moksa dan menjadi sehakekat dengan Siwa.
Meykanda juga menyusun empat-pada, yaitu Jnana-pada (bagian dari pengetahuan),
Yogya-pada (bagian dari latihan-latihan rohani), Kriya-pada (bagian
daripelantikanbiarawan, pembuatkuil dan pembuat patung dewa), dan Carya-pada
(bagian dari tata tertib).
Dalam sekte Siwa ditemukan adanya Siwa-Narayana yang bersama-sama denga para
alvar dalam aliran wisnu yang menciptakan kidung puja yang kemudian berbentuk devaram
(konon terdiri dari dua belas kitab). Diantaranya yang disebut Tirumurni yang
hampir sama dengan srutinya golongan Siwa-siddhanta. Sekte yang tersebut akhir
menyebarkan ajaran ketuhanan yang sangat besar di India selatan, diantara
usahanya yang sangat menonjol adalah penyusunan sistem ketuhanan pada saiva
tamil, yaitu Siva-Jnana-Bodham[7] dari Meykanda yang terkenal
sangat realistis dan teistis dalam gaya pemikirannya.
Aliran yang mengutamakan Siwa sebagai maha guru lebih menekankan bahwa
Siwa adalah guru yang anugerah dan rahmatnya akan ada bilamana orang
tunduk dan berserah sepenuhnya kepada ajaran-ajaran guru manusia. Karma
dan maya bukan dosa dan bukan kejahatan akan tetapi merupakan jalan dan cara
yang digunakan oleh Siwa untuk membersihkan dan menyucikan jiwa dari ketidaktahuan.
Tiga macam jalan yaitu, mengabdi, memuja dan meditasi sangat diutamakan.
Cabang aliran Kashmir yang muncul pada sekitar abad kesembilan, agak sedikit
berbeda. Pada aliran ini Siwa hanya merupakan suatu bentuk filsafat advaita
yang merupakan realitas alam yang merupakan emanasinya. Tokoh aliran ini
Kashmir ini ialah Sankara yang terkenal dengan ajarannya yang disebut monisme
absolute (advaita Vedanta).
Ciri-ciri
yang mencolok dari semua sekte bhakti adalah penyerahan diri kepada Tuhan yang personal
dan ini cenderung menjadi sanagt emosional. Bhakti dipertentangkan dengan Jnana,
devosi dengan pengetahuan. Yang pertama ditinggikan melebihi yang lain,
akan tetapi kecenderungan panteistis yang senantiasa kembali dalam hinduisme
tidak mudah dihindari dan bercokol dengan kuat juga dalam gerakan bhakti. Orang
senantiasa menyadari adanya perasaan tak enak ; seolah bhakti merupakan cara
yang gampang menuju ekstase, dan karenanya jalan pengetahuan yang dalam praktek
berarti pencapaian moksha dengan disiplin yang keras pastilah lebih tinggi dan
lebih otentik.
Ramprasad Sen menandai akhir dari suatu masa-masa bhakti. Selama masa itu
Hinduisme telah mengalami suatu perubahan yang mendalam; bukan ritualisme,
bukan pula pencapaian moksha, ketenangan yang sesuai dengan watak bangsa
hasratakan pengalaman religious ini. Mistisme yang di India sering diidentikkan
dengan agam membelokkan arah pandangan India dari pusat yang ada didalam jiwa
ke Tuhan yang ada diluar. Tuhan adalah pencipta sang jiwa dan dengan ini
seluruh dimensi baru telah ditambahkan kepada kehidupan rohani. Inilah
pengalaman batin itu, secara lahiriah pembaharu bhakti mengamati kehidupan
masyarakat hindu dan mendapatkan strukturnya tidak baik. System kasta mungkin
pernah menjadi sarana yang berguna kini menampakan ketidakadilan dan membuat
perpecahan yang tak tertahankan antara manusia dengan manusia, sehingga dalam
persaudaraan mereka sendiri menghapuskannya, karena masih percaya bahwa Tuhan
masih mempunyai cinta yang sama untuk semua makhluknya.
Daftar
Pustaka
1.
Drs. Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, Raja Grafindo Persada,
Jakarta 1996
2.
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
3.
R.C Zaehner, Kebijaksanaan dari Timur, Penerbit P.T Gramedia 1992
4.
Dr.A.G. Honig, Ilmu Agama, Gunung Mulia, 1997
5.
Prof.Dr.Ahmad Shallaby, Agama-Agama Besar Di India, Bumi Aksara, 1998
6.
Dr.M.Ghallab, Falsafat Timur, Saeful Medan 1950
Tidak ada komentar:
Posting Komentar